BAB I
PENDAHULUAN
Airway management
ialah memastikan jalan napas terbuka.
Tindakan paling penting untuk keberhasilan resusitasi adalah segera melapangkan
saluran pernapasan dengan tujuan untuk menjamin jalan masuknya udara ke paru secara normal
sehingga menjamin kecukupan oksigenasi jaringan.1 Airway
manajemen merupakan hal yang terpenting dalam resusitasi dan membutuhkan
keterampilan yang khusus dalam penatalaksanaan keadaan gawat darurat, oleh
karena itu hal pertama yang harus dinilai adalah kelancaran jalan nafas, yang
meliputi pemeriksaan jalan nafas yang dapat disebabkan oleh benda asing,
fraktur tulang wajah, fraktur mandibula atau maksila, fraktur laring atau
trakea. Gangguan airway dapat timbul secara mendadak dan total, perlahan-lahan
dan sebagian, dan progresif dan/atau berulang.2
Kesulitan
terbesar dari seorang dokter anestesi adalah bila jalan nafas tidak dapat
diamankan. Penatalaksanaan pasien dengan jalan nafas yang normal adalah kunci
penting dalam latihan penanganan pasien.
Pada pasien yang memiliki anatomi jalan nafas yang sulit penting untuk
dilakukan penanganan.3
Berbagai
penelitian melaporkan bahwa 1 - 18%
pasien memiliki anatomi jalan nafas yang sulit. Dari jumlah ini 0,05 - 0,35%
pasien tidak dapat di intubasi dengan baik, bahkan sejumlah lainnya sulit untuk
diventilasi dengan sungkup. Jika kondisi ini ditempatkankan pada seorang dokter
yang memiliki pasien sedang sampai banyak maka dokter tersebut akan menemui 1 –
10 pasien yang memiliki anatomi jalan nafas yang sulit untuk diintubasi.3
Difficult airway atau kesulitan jalan nafas di definisikan sebagai situasi klinis di
mana anestesiologis terlatih mengalami kesulitan dengan ventilasi masker di
saluran napas bagian atas, kesulitan intubasi trakea, atau keduanya. Kesulitan
jalan napas merupakan interaksi kompleks dari faktor pasien, klinis, dan
kemampuan dokter.1 Berbagai penyebab jalan napas sulit, seperti
gangguan struktural (kontraktur akibat luka bakar, trauma, dan ankilosis sendi
temporomandibular), inflamasi (abses retrofaringeal dan epiglotitis akut), neoplasma
(ensefalokel dan meningomielokel), malformasi kraniofasial (sindrom Down,
sindrom Pierre Robin, dan sindrom Treacher Collins).4
Efek
dari kesulitan respirasi dapat berbagai macam bentuknya, dari kerusakan otak
sampai kematian. Resiko tersebut berhubungan dengan tidak adekuatnya
penatalaksanaan jalan nafas pasien yang dibuktikan pada jumlah kasus-kasus
malpraktek yang diperiksa oleh American Society of Anesthesiologist Closed
Claims Project. Pada kasus-kasus yang sudah ditutup tersebut terhitung bahwa
jumlah terbanyak insiden kerusakan otak dan kematian disebabkan oleh kesulitan
respirasi.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
1.
ANATOMI
Anatomi Jalan Napas
Gambar 1.1 Anatomi Jalan Napas
Jalan
nafas pada manusia terdiri dari dua jalan, yaitu hidung yang menuju nasofaring
(pars nasalis), dan mulut yang menuju orofaring (pars oralis) yang di pisahkan
oleh palatum pada bagian anteriornya, tapi kemudian bergabung di bagian
posterior dalam faring. Faring berbentuk seperti huruf U dengan struktur
fibromuskuler yang memanjang dari dasar tengkorak menuju kartilago krikoid pada
jalan masuk ke esofagus. Bagian depannya terbuka ke dalam rongga hidung, mulut,
laring, nasofaring, orofaring dan
laringofaring (pars laryngeal). Nasofaring dipisahkan dari orofaring oleh garis
imaginasi mengarah ke posterior. Pada dasar lidah, epiglotis memisahkan
orofaring dari laringofaring (atau hipofaring). Epiglotis mencegah terjadinya
aspirasi dengan menutup glotis, gerbang laring, pada saat menelan. Laring
adalah suatu rangka kartilago yang diikat oleh ligamen dan otot. Laring disusun
oleh 9 kartilago: tiroid, krikoid, epiglotis, dan (sepasang) aritenoid,
kornikulata dan kuneiforme. 5
Gambar
1.2 Anatomi Laring
Saraf
sensoris dari saluran nafas atas berasal dari saraf kranial membran mukosa dari
hidung bagian anterior dipersarafi oleh divisi ophthalmic (V1) saraf
trigeminal (saraf ethmoidalis anterior) dan di bagian posterior oleh divisi
maxila (V2) (saraf sphenopalatina). Saraf palatinus mendapat serabut
saraf sensori dari saraf trigeminus (V) untuk mempersarafi permukaan superior
dan inferior dari palatum molle dan palatum durum. Saraf lingual (cabang dari
saraf divisi mandibula (V3) saraf trigeminal) dan saraf glosofaringeal
(saraf kranial yang ke 9) untuk sensasi umum pada dua pertiga bagian anterior
dan sepertiga bagian posterior lidah. Cabang dari saraf fasialis (VII) dan
saraf glosofaringeal untuk sensasi rasa di daerah tersebut. Saraf
glosofaringeal juga mempersarafi atap dari faring, tonsil dan bagian dalam
palatum molle. Saraf vagus (saraf kranial ke 10) untuk sensasi jalan nafas
dibawah epiglotis. Saraf laringeal superior yang merupakan cabang dari saraf
vagus dibagi menjadi saraf laringeus eksternal yang bersifat motoris dan saraf laringeus internal yang bersifat
sensoris untuk laring antara epiglotis dan pita suara. Cabang vagus yang
lainnya yaitu saraf laringeal rekuren, mempersarafi laring dibawah pita suara
dan trakhea.5
Gambar
1.3 Persarafan Saluran Nafas
Otot
laring dipersarafi oleh saraf laringeal rekuren (cabang dari saraf laringeal
superior) dengan pengecualian otot krikotiroid, yang dipersarafi oleh saraf
laringeal externa (motoris). Otot krikotiroid posterior mengabduksi pita suara,
seraya otot krikoaritenoid lateral adalah adduktor utama.5
Fonasi
merupakan kerja yang simultan dari beberapa otot laring. Kerusakan saraf
motoris yang mempersarafi laring, menyebabkan gangguan bicara. Gangguan
persarafan unilateral dari otot krikotiroid menyebabkan gangguan klinis.
Kelumpuhan bilateral dari saraf laringeal superior bisa menyebabkan suara serak
atau suara lemah, tapi tidak membahayakan kontrol jalan nafas.5
Paralisis
unilateral dari saraf laringeal rekuren menyebabkan paralisis dari pita suara
ipsilateral, menyebabkan kemunduran dari kualitas suara. Pada saraf laringeal
superior yang intact, kerusakan akut saraf laringeal rekuren bilateral dapat
menyebabkan stridor dan distress pernafasan karena masih adanya tekanan dari
otot krikotiroid. Jarang terdapat masalah jalan nafas pada kerusakan kronis
saraf laringeal rekuren bilateral karena adanya mekanisme kompensasi (seperti
atropi dari otot laringeal).5
Kerusakan
bilateral dari saraf vagus mempengaruhi kedua saraf laringeal rekuren dan
superior. Jadi, denervasi vagus bilateral menyebabkan pita suara flasid dan
midposisi mirip seperti setelah pemberian suksinilkolin. Walaupun fonasi
terganggu berat pada pasien ini, kontrol jalan nafas jarang terjadi masalah.5
Pasokan darah untuk laring berasal dari cabang arteri
tiroidea. Arteri krikoaritenoid berasal dari arteri tiroidea superior itu
sendiri, cabang pertama dari arteri karotis externa dan menyilang pada membran
krikotiroid bagian atas, yang memanjang dari kartilago krikoid ke kartilago
tiroid. Arteri tiroidea superior ditemukan sepanjang tepi lateral dari membran
krikotiroid. Ketika merencanakan krikotirotomi, anatomi dari arteri krikoid dan
arteri tiroid harus dipertimbangkan tetapi jarang berefek pada praktek klinis.
Teknik paling baik adalah untuk tetap pada garis tengah, antara kartilago
krikoid dan tiroid.5
2.
DIFFICULT
AIRWAY
Definisi
Difficult
airway atau kesulitan jalan nafas di definisikan sebagai situasi klinis di
mana anestesiologis terlatih mengalami kesulitan dengan ventilasi masker di
saluran napas bagian atas, kesulitan intubasi trakea, atau keduanya.1
Klasifikasi
Difficult Airways
Istilah difficult
airway tidak hanya menggambarkan satu kondisi saja, tetapi kesulitan dapat
ditemui pada kondisi yang berbeda-beda. Perhimpunan ASA (The ASA Task Force)
American Society of Anesthesiologists membagi difficult airway menjadi:1
1.
Kesulitan
ventilasi dengan sungkup muka atau SGA ( Difficult
face mask or Supraglottic Airway/ SGA ventilation )
Pada keadaan ini dokter tidak dapat memberikan ventilasi
yang adekuat karena beberapa keadaan berikut: penutupan masker atau SGA yang
tidak adekuat, terlalu banyak gas yang bocor, atau resistensi yang berlebihan
terhadap masuknya atau jalan keluar gas. Tanda pada ventilasi yang inadekuat
diantaranya tidak adanya atau inadekuat dari pergerakan dada, suara nafas,
tanda auskultasi pada obstruksi yang parah, sianosis, masuknya udara pada
lambung, penurunan SpO2, tidak adanya pengeluaran gas CO2,
pada spirometri tidak terlihat adanya aliran gas ekshalasi, dan perubahan
hemodinamik seperti
hipoksemia atau hipercarbia (hipertensi, takikardia, dan aritmia).1
2.
Kesulitan
menempatkan SGA ( Difficult SGA placement
)
Penempatan SGA membutuhkan beberapa upaya, dengan adanya
atau tidak adanya patologi pada trakea.1
3.
Laringoskopi
yang sulit ( Difficult Laryngoscopy )
Kesulitan dalam melihat plica vocalis setelah beberapa upaya
pada Laringoskopi Konvensional.1
4.
Kesulitan
pada intubasi trakea ( Difficult tracheal
intubation )
Intubasi trakea membutuhkan beberapa upaya, dengan ada atau
tidaknya patologi pada trakea.1
5.
Intubasi
gagal ( Failed intubation )
Upaya untuk menempatkan Endotracheal
Tube (ETT) gagal.1
2.1
Kesulitan
Ventilasi
Difficult
Ventilation / Kesulitan Ventilasi: Menurut The American Society of
Anesthesiology adalah ketidakmampuan dari ahli anestesi yang berpengalaman
untuk menjaga SO2 > 90 % saat ventilasi dengan menggunakan masker wajah, dan
O2 inspirasi 100%, dengan ketentuan bahwa tingkat saturasi oksigen ventilasi pra
masih dalam batas normal.1
Pada keadaan ini dokter tidak dapat
memberikan ventilasi yang adekuat karena beberapa keadaan berikut: penutupan
masker atau SGA yang tidak adekuat, terlalu banyak gas yang bocor, atau
resistensi yang berlebihan terhadap masuknya atau jalan keluar gas. Tanda pada
ventilasi yang inadekuat diantaranya tidak adanya atau inadekuat dari
pergerakan dada, suara nafas, tanda auskultasi pada obstruksi yang parah,
sianosis, masuknya udara pada lambung, penurunan SpO2, tidak adanya
pengeluaran gas CO2, pada spirometri tidak terlihat adanya aliran
gas ekshalasi, dan perubahan hemodinamik seperti hipoksemia atau hipercarbia (hipertensi,
takikardia, dan aritmia).1
Secara
alternatif , Langeron et al mengidentifikasi 5 krikteria yang merupakan faktor
risiko independe prediktor yang baik, 5
krikteria yang merupakan faktor risiko independen (OBESE) untuk MD yang sulit.
Faktor
terpenting lainnya termasuk obesitas, bertambahnya usia, jenis kelamin
laki-laki, gradasu mallampati, kemampuan untuk tonjolan mandibula dan riwayat
apnea tidur obstruktif.
Penilaian
Kesulitan Ventilasi: (OBESE) : 1
Ø
Over
weight (body mass index > 26 kg/m2)
Ø
Beard
Ø
Elderly
(>
55 tahun)
Ø
Snoring
Ø
Edentulous
1
Gambar 2.1 Kriteria OBESE
Para
penulis menyarankan mneumonic sederhana untuk membantu mengingat prediktor ini
: MMMMASK. Secara alternatif, Langeron et al mengidentifikasi 5 krikteria yang
merupkan faktor risiko independen (OBESE) untuk mask ventilation yang sulit.
MMMMASK
|
M
Male Gender
M
Mask seal which s affected by beard or being edentuluous
M
Mallampati grade 3 or 4
M
Mandibular protrusion
A Age
S Snoring and obstruktive sleep apneu
K Kilograms (weight)
|
Tanda
kegagalan ventilasi:
- Tidak adekuat atau tidak adanya gerakan dinding dada
- Berkurangnya atau tidak adanya suara napas
- Pada auskultasi ditemukan tanda obstruksi
- Sianosis
- Dilatasi lambung atau meningkatnya udara lambung
- Berkurangnya atau tidak adanya saturasi oksigen
- Berkurangnya atau tidak adanya pengeluaran karbondioksida
- Berkurangnya atau tidak adanya hembusan udara pada spirometri
- Perubahan hemodinamik, hipoksia atau hiperkarbia1
- Tidak adekuat atau tidak adanya gerakan dinding dada
- Berkurangnya atau tidak adanya suara napas
- Pada auskultasi ditemukan tanda obstruksi
- Sianosis
- Dilatasi lambung atau meningkatnya udara lambung
- Berkurangnya atau tidak adanya saturasi oksigen
- Berkurangnya atau tidak adanya pengeluaran karbondioksida
- Berkurangnya atau tidak adanya hembusan udara pada spirometri
- Perubahan hemodinamik, hipoksia atau hiperkarbia1
Pengelolaan kesulitan mask ventilation
dapat dibagi menjadi dua, yaitu diharapkan dan tidak terduga. Dengan
diharapkan, MV sederhana dapat dilakukan seperti mencukur jenggot, menurunkan
berat-badan dan menjaga gigi palsu ditempat memperbaiki segel dan menghapusnya
segera sebelum intubasi. Beberapa ahli anestesi merasa bermanfaat untuk
merapikan janggut dengan jeli untuk memperbaiki segel, namun manajemen optimal
adalah menghilangkan janggut dengan kerjasama dengan pasien.
Patel dan Nouraei menggambarkan metode
alternatif dalam mempertahankan oksigenasi pasien menggunakan Transnasal
Humidified Rapid Insufflation Ventilatory Exchange (THRIVE), dimana aliran
oksigen yang tinggi dikirim secara transnasal sebelum dan sesudah induksi
anestesi, sebelum saluran napas difinitif diamankan. Metode oksigenasi ini
menjanjikan, namun dalam seri kasus mereka secara rutin memeriksa bahwa
ventilasi masker dilakukan sebelum melanjutkan THRIVE dan hanya berfungsi jika
jalan napas tetap paten, yang merupakan kunci untuk MV yang sukses.
Jika MV sulit diintubasi dengan mudah,
dapat dipertimbangkan dengan cepat pemberian induksi. Manfaat dari pendekatan
ini adalah onset blokade neuromuscular yang lebih cepat untuk memvasilitasi
intubasi tanpa memerlukan MV. Risiko yang terkait dengan ini adalah risiko
termasuk desaturasi dalam onset kegagalan otot untuk intubasi.
Preoksigenasi yang optimal sangat
penting dengan tujuan memberikan peningkatan waktu apnoeic untuk memungkinkan
waktu untuk manajemen saluran napas sebelum saturasi oksigen pasien turun.
Posisi yang tepat untuk meningkatkan waktu apnoeic dengan mengurangi
ketergantungan atelektasis. Pada pasien obese, telinga harus berada pada satu
garis yang lurus dengan sternal. Posisi ini membantu meningkatkan ventilasi dan
laryngoskopi dengan menyejajarkan mulut, faring, dan laring.
Gambar
2.2. Posisi pada pasien dengan Obes.
Komplikasi dalam kesulitan mask
ventilasi :
Kesulitan mask ventilasi dapat
menyebabkan banyak komplikasi dengan perhatian utama adalah kegagalan untuk
mengoksidasi pasien yang dapat menyebabkan kematian, cedera otak hipoksia, atau
iskemia miokard. Komplikasi lain termasuk cedera pada mata, hidung, dan mulut,
luka mata dapat terjadi karena trauma langsung dari masker atau jari, gas
kering yang bocor dari masker sendiri dapat menyebabkan bahaya. Penyumbatan
saluran udara nasal dapat menyebabkan saluran palsu dan perdarahan yang lebih
lanjut dapat mengganggu jalan napas. Pasien dapat mengalami cedera tekanan
karena penggunaan kekuatan yang berlebihan dengan masker terhadap hidung. Mulut
dan orofaring mengandung banyak struktur yang terluka selama MV sulit, ini termasuk gigi, ips,
langit-langit lunak, uvula dan saraf. Kurangnya pelumasan dan penggunaan
kekuatan yang berlebihan untuk penyisipan tambahan saluran udara dapat
meningkatan risiko trauma jenis ini. Dengan meningkatnya kesulitan dalam mask
ventilation ada kecenderungan untuk
meningkatkan tekanan inlasi melalui katup adjustable pada mesin anestesi. Hal
ini dapat menyebabkan lingkaran setan jika saluran napas tidak paten, udara
akan diarahakan kelambung yang meningkatkan tekanan intra lambung hal ini dapat
menyebabkan peningkatan diafragma dan penurunan kepatuhan paru, yang mengarah
ke MV yang lebih sulit. Jika dalam nafas adalah paten dan terlalu berventilasi
dengan tekanan tinggi, peningkatan tekanan intratorakal dapat mengganggu
pengembalian vena dan menyebabkan impotensi dan penurunn perposi koroner.
Ventilasi masker yang sulit dan intubasi yang sulit merupakan skenario terburuk
untuk sebagian besar anestesi dan telah dikembangkan pedoman untuk
mengelolanya. Faktor resiko untuk intubasi dan ventilasi mask yanng sulit
memang memilki beberapa tumpang tindih, karena alasan yang jelas. Insiden
kombinasi sulit ini ditemukan oleh Kheterpal at al sekitar 0,4 %, dengan
kesulitan didefenisikan sebagai grade 3 atau 4 MV dan tingkat 3 atau 4 pada
laringmoskovi. Hal ini menunjukkan estimasi yang terlalu rendah bahwa saluran
udara mungkin telah menerima intubasi fibraoptik yang terjaga5
Gambar.
2 Flowchart untuk manajemen dalam kesulitan Mask Ventilasi
2.2
Kesulitan Intubasi
Difficult intubation adalah
keadaan dimana intubasi dengan beberapa upaya laringoskopi, manuver dan / atau
scalpel digunakan oleh seorang dokter ahli yang berpengalaman.1
Menurut Difficult Airway Society (DAS) 2015, suatu
intubasi dikatakan sulit jika seorang dokter anestesi berpengalaman butuh lebih
dari sepuluh menit atau lebih dari tiga kali untuk sebuah intubasi endotrakeal
yang sukses.6
Penyebab terjadinya intubasi
yang sulit dipengaruhi oleh beberapa faktor, untuk mengetahuinya juga digunakan
beberapa macam kriteria dan klasifikasi sebagai berikut:
o
METODE
LEMON
Salah satu alat yang dikembangkan
untuk menentukan pasien mungkin menimbulkan kesulitan manajemen jalan nafas
adalah metode LEMON.7
L
= Look externally
Melihat adanya hal-hal yang
menyebabkan pasien membutuhkan tindakan ventilasi atau intubasi dan evaluasi
kesulitan secara fisik, misalkan leher pendek, trauma facial, gigi yang besar,
kumis atau jenggot, atau lidah yang besar.7
E
= Evaluate 3 – 3 – 2 rule
3 – 3 – 2 rule adalah penentuan
jarak anatomis menggunakan jari sebagai alat ukur untuk mengetahui seberapa
besar bukaan mulut.7
Gambar
2.1 Evaluasi Jari 3 – 3 – 2
M
= Mallampati score
Mallampati score digunakan sebagai
alat klasifikasi untuk menilai visualisasi hipofaring, caranya pasien berbaring
dalam posisi supine, membuka mulut sambil menjulurkan lidah. 7
Gambar
2.2 Skor Mallampati
Klasifikasi
|
Klinis
|
·
Kelas
I
·
Kelas
II
·
Kelas
III
·
Kelas
IV
|
Tampak
uvula, pilar fausial dan palatum mole
Pilar
fausial dan palatum mole terlihat
Palatum
durum dan palatum mole masih terlihat
Palatum
durum sulit terlihat
|
Tabel
2.1 Skor Mallampati pada klinis
O
= Obstruction/Obesity
Menilai adanya keadaan yang dapat
menyebabkan obstruksi misalkan abses peritonsil, trauma.
Obesitas dapat menyebabkan sulitnya
intubasi karena memperberat ketika melakukan laringoskop dan mengurangi
visualisasi laring.7
N
= Neck deformity
Menilai apakah ada deformitas leher
yang dapat menyebabkan berkurangnya range of movement dari leher sehingga
intubasi menjadi sulit. Leher yang baik dapat fleksi dan ekstensi dengan bebas
ketika laringoskopi atau intubasi, Ektensi leher "normal" adalah 35°
(The atlanto-oksipital/ A-O joint). 7
Tabel
2. 2 Metode Lemon5
o
METODE 4MS5
1.
Mallampati
Klasifikasi
Mallampati/Samsoon-Young berdasarkan penampakan dari orofaring.4, 5
Gambar
2.2 A. Skor Mallampati B. Skor Smasoon and Young
A. Klasifikasi Mallampati
|
Klinis
|
Kelas
I
|
Tampak
uvula, pilar fausial dan palatum mole
|
Kelas
II
|
Pilar
fausial dan palatum mole terlihat
|
Kelas
III
|
Palatum
durum dan palatum mole masih terlihat
|
Kelas
IV
|
Palatum
durum sulit terlihat 7
|
Tabel 2.2 Skor Mallampati pada
klinis
B.
Klasifikasi Samsoon Young
|
Klinis
|
Kelas
I
|
Visualisasi seluruh bukaan laring
|
Kelas
II
|
Visualisasi hanya komisura
posterior dari bukaan laring
|
Kelas
III
|
Visualisasi hanya epiglotis
|
Kelas
IV
|
Visualisasi hanya soft palate
|
Tabel
2.3 Skor Samsoon and Young untuk penilaian laring
2.
Measurements
3-3-2-1 or 1-2-3-3 Fingers
3 – Jari. Bukaan mulut.
3 – Jari. Jarak
hypomental = dari manthus sampai leher
2 – Jari antara thypiod
sampai dasar dari mandibula
1 - Jari. Subluksasi
mandibula
3.
Movement of the neck
Ektensi leher "normal"
adalah 35° (The atlanto-oksipital/ A-O joint).
Keterbatasan ektensi sendi terdapat
pada spondylosis, rheumatoid arthritis, halo-jaket fiksasi, pasien dengan
gejala yang menunjukkan kompresi saraf dengan ekstensi servikal.7
Gambar 2.3 Ekstensi leher normal
4.
Malformation of the Skull (S), Teeth
(T), Obstruction (O), Pathology (P) Ã STOP
S =
Skull (Hidrocephalus dan mikrocephalus)
T =
Teeth (Buck, protruded, & gigi ompong, makro dan mikro mandibula)
O =
Obstruction (obesitas, leher pendek dan bengkak disekitar kepala and
leher)
P =Pathologi
(kraniofacial abnormal & Syndromes: Treacher Collins, Goldenhar’s, Pierre
Robin, Waardenburg syndromes) 2,3
Tabel 2.4 Metode 4Ms
Jika
score pasien 8 atau lebih, maka memungkinkan difficult airway7
2.3
Kesulitan
Supra Glottic Airway
Laryngeal
mask airway (LMA) adalah alat napas supraglotis yang dikembangkan oleh Dokter
anestesi Inggri yaitu Dr. Archi Brain. LMA telah digunakan sejak tahun 1988.
Awalnya dirancang untuk digunakan di ruang operasi sebagai metode ventilasi
elektif. Awalnya digunakan terutama di ruang operasi, namun baru-baru ini LMA
mulai digunakan dalam perangkat emergensi sebagai alat penting untuk
pengelolaan jalan napas yang sulit.8
LMA berbentuk
seperti tabung endotrakeal besar yang pada bagian ujung proksimal terhubung ke
bagian distal masker elips. LMA dirancang untuk berada pada hypopharynx pasien
dan menutupi struktur supraglottic, sehingga memungkinkan isolasi relatif dari
trakea.8
LMA
adalah alat saluran nafas yang baik digunakan diberbagai tempat, termasuk ruang
operasi, ruang gawat darurat, dan perawatan diluar rumah sakit karena mudah
digunakan dan pemasangan yang cepat, bahkan bagi penyedia yang tidak
berpengalaman. Tingkat keberhasilan untuk pemasangan LMA hampir 100% terjadi di
ruang operasi. Tingkat pemasangan yang lebih rendah biasanya terjadi pada
keadaan darurat. LMA merupakan alternatif terhadap sungkup muka atau intubasi
trakea untuk pemeliharaan jalan nafas selama anestesi. Penggunaannya
menghasilkan lebih sedikit distensi lambung dibandingkan dengan ventilasi
bag-valve-mask, tetapi tidak menghilangkan resiko aspirasi.8
Sampai sekarang
ada bermacam – macam jenis telah diproduksi dengan keunggulan dan kekurangan
pada masing – masing LMA. Macam-macam LMA yang tersedia dan sering digunakan
adalah sebagai berikut :9
· LMA klasik
Suatu metode pemasangan LMA klasik dengan teknik standar
direkomendasikan oleh Dr. Archie Brain yaitu dengan cara setelah deflasi cuff
secara penuh maka LMA dimasukan dengan bantuan indek jari dengan menekan
masker ke arah cranioposterior melewati palatofaringeal dilanjutkan kearah
kaudal sampai dirasakan adanya tahanan, dimana ujung masker memasuki upper
eshopageal spinter berbahan semirigid sehingga memungkinkan insersi yang
atraumatik dan berbahan semitransparan, sehingga dapat untuk mengetahui adanya
material regurgitan, terdapat garis hitam disepanjang punggung pipa nafas untuk
membantu orientasinya. Pipa jalan nafas ini berujung pada lumen suatu sungkup
yang dapat dikembangkanl, yang disebut mask aperture bars (MAB) untuk
mencegah terlipatnya epiglotis sehingga menutupi jalan nafas.10 Kelemahan
utama dari teknik pemasangan LMA classic standar adalah jari-jari
operator akan terhalang oleh gigi pasiendan pembukaan mulut pasien yang kurang
maksimal.10
·
LMA proseal
LMA Proseal adalah LMA yang paling serba guna yaitu double
cuff selang drainase makanan dan pernafasan terpisah.Bentuk ini di buat
bersamaan dengan selang jalan nafas fleksibel, memungkinkan waktu ventilasi
yang lama dengan kerusakan minimal dinding posterior faring.LMA ini merupakan
LMA yang paling kompleks.LMA ini dibuat oleh dr. Brain pada akhir 1990an dan
dipasarkan mulai tahun 2000. Tujuan awal LMA ini adalah untuk membuat LMA
dengan karasteristik ventilasi yang lebih baik dan memberikan perlindungan
terhadap insuflasi dan regurgitasi lambung. Pada LMA ini terdapat cuff yang
dimodifikasi dan tube untuk drain. LMA ini memiliki dua sungkup, satu untuk
saluran nafas, dan satu untuk saluran pencernaan. LMA ini dibuat untuk mencegah
aspirasi dan regurgitasi yang tidak terduga.Terdapat beberapa perbedaan desain
dengan LMA classic, yaitu pada LMA proseal terdapat dua buah cuff.
Untuk cuff proksimal berukuran lebih besar, sementara cuff distal
lebih kecil, menempel pada sisi dorsal mangkuk. Desain mangkuk pada LMA proseal
lebih cekung, tidak memiliki batang paralel diujung tube, dan bagian yang
dapat dikembangkan lebih luas hingga sisi dorsalnya. Bila dikembangkan, sungkup
akan terdorong ke anterior sehingga glotis akan terbungkus dalam mangkuk.
Indikasi pemakaian LMA proseal hampir sama dengan LMA klasik, tetapi LMAproseal
lebih menjadi pilihan bila diperlukan yang lebih baik, proteksi jalan nafas
yang lebih baik atau bila diperlukan akses ke saluran cerna. LMA proseal menjadi
alternatif yang lebih baik pada operasi elektif yang menggunakan LMA klasik
dengan ventilasi kendali dan pada resusitasi kardiopulmonal. Pemasangan LMA proseal
dikontraindikasi pada pasien dengan risiko aspirasi sebelum induksi
anestesi.
·
LMA fleksibel
Pada tahun 1990, dilaporkan terjadinya kinking pada tube LMA,
sehingga dr. Brain mendesain LMA fleksible dan diluncurkan tahun 1992
untuk mencegah terjadinya oklusi tube, meningkatkan akses pembedahan,
dan mencegah bergesernya LMA selama pembedahan kepala, leher, dan orofaring.
LMA jenis ini terbuat dari silikon dan karet dan dapat digunakan berulang kali.
LMA fleksibel merupakan LMA classicyang dipasangkan pada tube yangfleksible,
berukuran lebih panjang dan berdiameter lebih kecil, dengan perlindungan wire,
dengan adanya wire mencegah kinking. Ukuran tube yang lebih
panjang memungkinkan LMA ini dipasangkan pada sirkuit nafas dengan jarak yang
lebih jauh dari medan operasi. Diameter yang lebih kecil memungkinkan menambah
luas ruang medan operasi didalam mulut. LMA jenis ini lebih dipilih untuk
tindakan operasi intra oral, khususnya adenotonsilektomi.
·
LMA fast trach
LMA fastrach merupakan jenis LMA yang diciptakan
untuk memfasilitasi intubasi, sehingga tidak diperlukan manipulasi kepala leher
yang besar. LMAfastrach terdiri dari tiga komponen, yaitu LMA itu
sendiri, tube trakhea, dan batang stabilisator. LMAfastrach kaku,
berbentuk melekuk mengikuti anatomi jalan nafas. Pada tube LMA fastrach
cukup besar untuk ukuran tube trakhea hingga nomor 8,0 dan tidak
terlalu panjang sehingga dapat untuk memastikan bahwa ETT masuk melalui pita
suara. Alat ini memiliki handle yang kaku untuk memfasilitasi intubasi,
ekstubasi, dan untuk memposisikan lubang LMA sehingga menghadap rimaglotis. LMA
fastrack digunakan untuk resusitasi jantung paru dan sebagai antisipasi
kesulitan jalan nafas yang tidak terduga dan untuk memfasilitasi intubasi buta
tanpa menggerakan kepala atau leher.
·
LMA supreme
LMA
Suprame suatu LMA yang dipakai untuk kemudahan insersi dan menguatkan
tekanan yang lebih tinggi dibandingkan LMA jenis lainya dan dapat memberikan
akses untuk insersi selang nasogastrik. LMA suprime ini merupakan solusi
terbaik untuk permaslahan yang mungkin terjadi ketika pengelolaan jalan nafas
pasien sangat sulit.11
· LMA
C-trach
LMA C Trach dibuat untuk meningkatkan
keberhasilan intubasi pada jalan nafas yang sulit, LMA ini tetap dapat
memberikan ventilasi selama dilakukan percobaan intubasi dan saat ETT memasuki trakhea
dapat dimonitor.LMA c-trach merupakan modifikasi teknik intubasi
bind-on-blind seperti pada LMA fastrach dengan mengintegrasikan
fiberoptik. Dengan alat ini laring dapat tervisualisasi secara langsung.11
Indikasi
penggunaan LMA yaitu pada pasien yang memerlukan ventilasi tekanan positif
(VTP), dapat digunakan alat bantu pernapasan primer jika BVM atau intubasi
gagal, dapat juga digunakan sebagai panduan pemasangan intubasi fiberoptik.
Penelitian telah mengifentifikasi faktor-faktor yang kemungkinan
mempersulit penempatan EGD dan penyedia pertukaran gas yang adekuat. Hal ini dapat
di nilai mnemonic RODS :
R :
Restricted mouth opening
O :
Obstruction
D :
Distorted airway
S :
Stiff Lugs or Neck (c-spine)12
2.4
Kesulitan
Cricothyroidotomy
Cricothyroidotomy
adalah prosedur darurat yang dilakukan pada pasien dengan gangguan napas yang
berat dimana upaya pemasangan intubasi orotrakeal atau nasotrakeal telah gagal
atau dianggap memiliki tingkat risiko yang tidak dapat diterima. Prosedur ini
melibatkan pembuatan sayatan di membran krikotiroid, yang terletak di antara
kartilago tiroid dan krikoid, dan memasukkan tabung trakeostomi ke trakea untuk
memungkinkan ventilasi.13
Indikasi
utama untuk cricothyroidotomy adalah ketidakmampuan untuk membuat jalan nafas
melalui intubasi orotrakeal atau nasotrakeal, yang mungkin disebabkan oleh
kesulitan anatomi pasien, darah yang berlebihan di mulut atau hidung, trauma
wajah masif, atau obstruksi jalan napas akibat angioedema, trauma, luka bakar,
atau obstruksi benda asing pada jalan napas.13
Tingkat
kegagalan intubasi departeman emergensi dan manajemen jalan napas bedah lebih
rendah 0,6%. Di departemen emergensi, krikotiroidotomi telah digunakan pada
1,0-2,8 % dari semua percobaan intubasi pada pasien dengan trauma.13
Krikotiroidetomi
tidak harus dilakukan ketika ada trauma masif pada larynx atau kartilago
krikoid. Krikotiroidotomi dianggap dapat dilakukan ketika intubasi orotrakeal
dan nasotrakeal telah dilakukan terlebih dahulu namun gagal.13
Tidak
ada kontraindikasi absolut untuk melakukan krikotiroidotomi, namun penting
dilakukan beberapa pertimbangan alternatif daripada hanya mengandalakn
krikotirodetomi yang dilakukan secara cepat untuk melakukan penyelamatan. SHORT
mnemonik digunakan untuk menilai dengan cepat untuk menunjukkan mungkin
krikotirodetomi sulit dilakukan. mnemonic dapat
diingat dengan mengingat bahwa pada pasien dengan leher pendek difus untuk
melakukan operasi udara, atau waktu yang singkat ketika krikotirotomi
diindikasikan. mnemonik SHORT diterapkan sebagai berikut :
S: Surgery (atau gangguan saluran napas lainnya): perubahan
bentuk anatomi mungkin secara halus atau jelas, membuat kesulitan menemukan
jalan napas atau menghalangi akses ke bagian anteriornya (misalnya, perangkat
halo setelah operasi tulang belakang)
H: hematoma (termasuk infeksi / abses): hematoma (pasca operasi
atau traumatik) atau proses infektif di jalur krikotiotomi dapat membuat
prosedur secara teknis sulit, tetapi tidak boleh dianggap sebagai
kontraindikasi dalam situasi yang mengancam jiwa
O: obesitas (termasuk masalah akses apa pun): obesitas harus
dianggap sebagai pengganti untuk masalah apa pun yang membuat akses bedah
perkutan atau bedah terbuka ke leher anterior bermasalah, seperti leher yang
sangat pendek, pannus besar, desendens, dan emfisema subkutan. palpasi yang
cermat merupakan petunjuk yang relevan untuk mengidentifikasi masalah ini.
R: Distorsi radiasi (dan kelainan lain): terapi radiasi masa lalu dapat mendistorsi dan jaringan parut
yang membuat prosedur sulit, atau kelenturan fleksi tulang belakang dapat membatasi
akses kerja ke penanda anterior.
T: tumor; tumor eter di dalam atau di sekitar jalan napas, dapat
menimbulkan kesulitan, baik dari akses
dan perspektif perdarahan
3
PENANGANAN
JALAN NAPAS SULIT
Evaluasi Jalan Napas
·
Anamnesis :
Anemnesis
riwayat terutama yang berhubungan dengan jalan napas atau gejala-gejala yang berhubungan dengan
saluran pernapasan atas. Bila mungkin,
perlu dilakukan dokumentasi terhadap masalah-masalah yang berhubungan dengan
saluran pernapasan atas. Tanda dan
gejala yang berhubungan dengan jalan napas harus dijelaskan misalnya snoring atau mengorok (misalnya pada sleep apnea yang obstruktif), gigi
terkikis, perubahan suara, disfagi, stridor, nyeri servikal atau pergerakan
leher yang terbatas, neuropathi ekstremitas atas, nyeri atau disfungsi sendi
temporo-mandibular dan nyeri tenggorokan atau rahang yang berlangsung lama
setelah pembiusan. Banyak kelainan
kongenital dan gejala yang didapat , berhubungan dengan penyulit tatalaksana
jalan napas.1
Riwayat
penyakit (kesulitan jalan napas) dapat membantu dalam cara menghadapi kesulitan
jalan nafas, riwayat operasi atau riwayat anestesi, jika ada kemudian tanyakan waktu pelaksanaan. 1
·
Pemeriksaan
fisik
Ciri-ciri
anatomi tertentu (ciri-ciri fisik dari kepala dan leher) dan kemungkinan dari
kesulitan jalan nafas.1
·
Evaluasi
tambahan
Tes
diagnostik tertentu (Radiografi , CT-scan , fluoroskopi ) dapat
mengidentifikasi berbagai keadaan yang didapat atau bawaan pada pasien dengan
kesulitan jalan napas 1
Persiapan Standar pada
Managemen Kesulitan Jalan Napas
1) Tersedianya peralatan untuk pengelolaan kesulitan
jalan napas1
·
Laryngoscope dengan beberapa alternatif
desain dan ukuran yang sesuai
·
Endotrakea tube berbagai macam ukuran.
·
Pemandu endotrakeal tube. Contohnya
stylets semirigid dengan atau tanpa lubang tengah untuk jet ventilasi, senter
panjang, dan mangil tang dirancang khusus untuk dapat memanipulasi bagian
distal endotrakeal tube.
·
Peralatan Intubasi fiberoptik.
·
Peralatan Intubasi retrograd.
·
Perangkat ventilasi jalan nafas darurat
nonsurgical. Contohnya sebuah jet transtracheal ventilator, sebuah jet
ventilasi dengan stylet ventilasi, LMA, dan combitube.
·
Peralatan yang sesuai untuk akses
pembedahan napas darurat (misalnya, cricothyrotomy).
·
Sebuah detektor CO2 nafas (kapnograf).
2) Menginformasikan kepada pasien atau keluarga tentang
adanya atau dugaan kesulitan jalan nafas, prosedur yang berkaitan dengan
pengelolaan kesulitan jalan nafas, dan risiko khusus yang kemungkinan dapat
terjadi
3) Memastikan bahwa setidaknya ada satu orang tambahan
sebagai asisten dalam manajemen kesulitan jalan nafas,
4) Melakukan preoksigenasi preanestesi dengan sungkup
wajah sebelum memulai manajemen kesulitan jalan nafas, kuran glebih selama 3
menit untuk mencapai hasil saturasi oksigen yang baik
5) Secara aktif memberikan oksigen tambahan di seluruh
proses manajemen kesulitan jalan nafas. Dapat menggunakan nasal cannule, facemask,
LMA.
Strategi Intubasi pada
Kesulitan Jalan Napas
1)
Intubasi
sadar.
Intubasi endotraea dalam keadaan pasien sadar dengan
anestesi topikal, pilhan teknik untuk mencegah bahaya aspirasi pada kasus
trauma berat pada muka, leher, perdaraha, usus, serta kesulitan jalan napas.
Ketika intubasi endotrakeal direncanakan dalam keadaan sadar di bawah anestesi
topikal, kombinasi obat premedikasi digunakan untuk menghilangkan kecemasan,
memberikan jalan napas yang jelas dan kering, dan mencegah aspirasi isi
lambung.yaitu antara lain seperti diazepam, fentanyl atau petidin untuk mempermudah
kooperasi pasien tanpa harus menghilangkan refleks jalan napas atas (yang harus
mencegah apirasi). Boleh spray
lidokain 2% pada lidah dan farings, tetapi jangan kena plika vocalis. Midazolam
dalam dosis 20 sampai 40 mg / kg iv, diulang setiap 5 menit yang diperlukan,
yang digunakan untuk mencapai tingkat yang diinginkan sedasi (dosis maksimal
100 sampai 200 mg / kg). Pada beberapa penelitian membuktikan bahwa intubasi
sadar pada pasien yang menderita kesulitan jalan napas memberikan hasil yang
memuaskan 88-100%.1
2)
Laringoskopi
dengan bantuan video.
Meningkatkan visualisasi laring, frekuensi
kesuksesan lebih tinggi dibanding intubasi dengan laringoskop, dan frekuensi
yang lebih tinggi dari intubasi upaya pertama; tidak ada perbedaan dalam waktu
untuk intubasi, trauma jalan nafas, bibir / trauma karet, trauma gigi, atau
sakit tenggorokan.
Gambar 3.1
Laringoskop McGrath
3)
Intubasi
stylets atau tube-changer.
4)
SGA untuk
ventilasi (LMA, laringeal tube)
Penggunaan LMA
meningkat untuk menggantikan pemakaian face
mask dan TT selama pemberian anestesi, untuk memfasilitasi ventilasi dan
pemasangan TT pada pasien dengan jalan nafas yang sulit, dan untuk membantu
ventilasi selama bronchoscopy fiberoptic, juga pemasangan bronkhoskop. LMA memiliki
kelebihan istimewa dalam menentukan penanganan kesulitan jalan nafas
dibandingkan combitube. Ada 4 tipe LMA yang biasa digunakan: LMA yang dapat
dipakai ulang, LMA yang tidak dapat dipakai ulang, ProSeal LMA yang memiliki
lubang untuk memasukkan pipa nasogastrik dan dapat digunakan ventilasi tekanan
positif, dan Fastrach LMA yang dapat memfasilitasi intubasi bagi pasien dengan
jalan nafas yang sulit. 7
LMA
terdiri dari pipa dengan lubang yang besar, yang di akhir bagian proksimal
dihubungkan dengan sirkuit nafas dengan konektor berukuran 15 mm, dan dibagian
distal terdapat balon berbentuk elips yang dapat dikembangkan lewat pipa. Balon
dikempiskan dulu, kemudian diberi pelumas dan masukan secara membuta ke
hipofaring, sekali telah dikembangkan, balon dengan tekanan rendah ada di muara
laring.
Gambar
3.2
Laryngeal Mask Airway
Pemasangannya
memerlukan anestesi yang lebih dalam dibandingkan untuk memasukan oral airway. Walaupun pemasangannya
relatif mudah, perhatian yang detil akan memperbaiki keberhasilan. Posisi ideal
dari balon adalah dasar lidah di bagian superior, sinus pyriforme dilateral,
dan spincter oesopagus bagian atas di inferior. Jika esophagus terletak di rim
balon, distensi lambung atau regurgitasi masih mungkin terjadi. Variasi anatomi
mencegah fungsi LMA yang adekuat pada beberapa pasien. Akan tetapi, jika LMA
tidak berfungsi semestinya dan setelah mencoba memperbaiki masih tidak baik,
kebanyakan klinisi mencoba dengan LMA lain yang ukurannya lebih besar atau
lebih kecil. Karena penutupan oleh epiglotis atau ujung balon merupakan
penyebab kegagalan terbanyak, maka memasukkan LMA dengan penglihatan secara
langsung dengan laringoskop atau bronchoskop fiberoptik (FOB) menguntungkan
pada kasus yang sulit. Demikian juga, sebagian balon digembungkan sebelum
insersi dapat sangat membantu. Pipa di
plester seperti halnya TT. LMA melindungi laring dari sekresi faring (tapi
tidak terhadap regurgitasi lambung) dan LMA harus tetap dipertahankan pada
tempatnya sampai reflek jalan nafas pasien pulih kembali. Ini biasanya ditandai
dengan batuk atau membuka mulut sesuai dengan perintah. LMA yang dapat dipakai
lagi, dapat di autoklaf, dibuat dari
karet silikon (bebas latek) dan tersedia dalam berbagai ukuran.
Algoritma Kesulitan Jalan Napas1
1. Menilai kemungkinan dan dampak klinis dari masalah
pada penanganan dasar:
• Kesulitan dengan kerjasama atau persetujuan pasien
• Kesulitan ventilasi sungkup
• Kesulitan penempatan Supraglottic Airway
• Kesulitan laringoskopi
• Kesulitan intubasi
• Kesulitan akses bedah jalan napas
• Kesulitan dengan kerjasama atau persetujuan pasien
• Kesulitan ventilasi sungkup
• Kesulitan penempatan Supraglottic Airway
• Kesulitan laringoskopi
• Kesulitan intubasi
• Kesulitan akses bedah jalan napas
2.
Aktif
memberikan oksigen tambahan selama proses manajemen kesulitan jalan napas
3.
Mempertimbangkan
manfaat relatif dan kelayakan dari penanganan dasar :
• Awake intubation vs intubasi setelah induksi anestesi umum
• Teknik non-invasif vs teknik invasif untuk pendekatan awal untuk intubasi
• Video laringoskopi sebagai pendekatan awal untuk intubasi
• Menjaga Ventilasi spontan vs pelepasan ventilasi spontan
• Awake intubation vs intubasi setelah induksi anestesi umum
• Teknik non-invasif vs teknik invasif untuk pendekatan awal untuk intubasi
• Video laringoskopi sebagai pendekatan awal untuk intubasi
• Menjaga Ventilasi spontan vs pelepasan ventilasi spontan
4.
Mengembangkan
strategi primer dan strategi alternative
Kotak A dipilih
bila kesulitan jalan nafas diantisipasi, sedangkan kotak B untuk situasi dimana
kesulitan jalan nafas tidak diantisipasi. A tidak pada retardasi mental, intoksikasi, kecemasan, penurunan
derajat kesadaran, atau usia. Pasien ini mungkin masih memasuki kotak A, tetapi
intubasi “awake” mungkin membutuhkan modifikasi teknik yang mempertahankan
ventilasi spontan (cth, induksi inhalasi) 1
Gambar
3.3
Algoritma Difficult Airway
a) Pilihan
lain termasuk: operasi menggunakan masker wajah atau supraglottic airway (SGA)
(Misalnya, LMA, ILMA, laringeal tube), infiltrasi anestesi lokal atau blokade
saraf regional.
b) Akses
jalan napas invasif meliputi bedah atau jalan napas percutaneous, jet
ventilation, dan intubasi retrograde.
c) Pendekatan
alternatif : laringoskopi dengan video,
bilah laringoskop alternatif, SGA (LMA atau ILMA) sebagai saluran intubasi
(dengan atau tanpa bimbingan serat optik), intubasi dengan serat optik ,
intubasi dengan stylet atau tabung changer, light wand, dan blind oral or
nasal intubation.
d) Pertimbangkan
kembali persiapan pasien untuk intubasi sadar atau membatalkan operasi.
Pemasangan face mask, jika “facemask” adekuat, masuk jalur nonemergensi ASA-DAA. Jika face mask gagal, lanjutkan dengan ventilasi supraglotis dengan LMA. Jika berhasil, dilanjutkan jalur nonemergensi
ASA-DAA dan dilakukan intubasi trakea.14
Bila ventilasi
LMA gagal, dilanjutkan dengan jalur emergency. ASA-DAA menyarankan penggunaan Esophageal-Tracheal
Combitube, rigid bronkoskopi, oksigenasi transtrakeal, atau jalan nafas bedah.14
Kegagalan penggunaan LMA, karena; sudut oral-faring sempit, sumbatan pada level hipofaring, sumbatan di bawah
liptan fokal. 1
Gambar
3.4
Algoritma Difficult Airway Sederhana menurut difficult Airway Society
Gambar
3.5
Algoritma Difficult Airway Pada Intubasi Trakea Pasien Dewasa Menurut Difficult
Airway Society
Gambar
3.6
Algoritma Difficult Airway Menurut Difficult Airway Society
Gambar
3.7
Algoritma Difficult Airway Menurut Difficult Airway Society
Ekstubasi
Ekstubasi terbaik dilakukan ketika
pasien sedang teranestesi dalam atau bangun. Pasien juga harus pulih sepenuhnya
dari pengaruh obat pelemas otot pada saat sebelum ekstubasi. Jika pelemas otot
digunakan, pernapasan pasien akan menggunakan ventilasi mekanik terkontrol,
maka dari itu pasien harus dilepaskan dari ventilator sebelum ekstubasi.1
Ekstubasi selama anestesi ringan (masa
antara anestesi dalam dan bangun) harus dihindari karena meningkatnya risiko
laringospasme. Perbedaan antara anestesi dalam dan ringan biasanya terlihat
saat suction/ penyedotan sekret faring : adanya reaksi pada penyedotan (tahan
napas, batuk) menandakan anestesia ringan, dimana jika tidak ada reaksi
menandakan anestesia dalam. Pasien membuka mata atau bergerak yang bertujuan
menandakan pasien sudah bangun. 1
Mengekstubasi pasien yang sudah bangun
biasanya berhubungan dengan batuk pada TT. Reaksi ini meningkatkan denyut nadi,
tekanan vena sentral, tekanan darah arteri, tekanan intrakranial, dan tekanan
intraokular. Hal ini juga dapat menyebabkan dehisensi luka dan perdarahan.
Adanya TT pada pasien asma yang sudah sadar dapat memicu bronkospasme. Meskipun
konsekuensi ini dapat diturunkan dengan premedikasi 1,5 mg/kg lidokain
intravena 1-2 menit sebelum suction dan ekstubasi, ekstubasi saat anestesia
dalam lebih dianjurkan pada pasien yang tidak dapat mentolerir hal ini.
Ekstubasi menjadi kontraindikasi pada pasien yang memiliki risiko aspirasi atau
yang jalan napasnya sulit untuk dikontrol setelah pencabutan TT. 1
Pasien teranestesi dalam atau sudah
sadar, faring pasien juga sebaiknya disuction terlebih dahulu sebelum ekstubasi
untuk mengurangi risiko aspirasi atau laringospasme. Pasien juga harus
diventilasi dengan 100% oksigen sebagai cadangan apabila sewaktu-waktu terjadi
kesulitan untuk mengontrol jalan napas setelah TT dicabut. Sesaat sebelum
ekstubasi, TT dilepas dari plester dan balon dikempiskan. Pemberian sedikit
tekanan positif pada jalan napas pada kantong anestesia yang dihubungkan dengan
TT dapat membantu meniup sekret yang terkumpul pada ujung balon supaya ke luar
ke arah atas, menuju faring, yang kemudian dapat disuction. Pencabutan TT pada
saat akhir ekspirasi atau akhir inspirasi mungkin tidak terlalu penting. TT
dicabut dengan satu gerakan yang halus, dan sungkup wajah biasanya digunakan
untuk menghantarkan oksigen 100% sampai pasien menjadi cukup stabil untuk
diantar ke ruang pemulihan. Pada beberapa institusi, oksigen dengan sungkup
wajah dipertahankan selama pengantaran pasien. 1
BAB III
KESIMPULAN
Difficult airway atau kesulitan jalan nafas di definisikan sebagai situasi klinis di
mana anestesiologis terlatih mengalami kesulitan dengan ventilasi masker di
saluran napas bagian atas, kesulitan intubasi trakea, atau keduanya.
Istilah difficult
airway tidak hanya menggambarkan satu kondisi saja, tetapi kesulitan dapat
ditemui pada kondisi yang berbeda-beda. Perhimpunan ASA (The ASA Task Force)
American Society of Anesthesiologists membagi difficult airway menjadi: Kesulitan ventilasi dengan sungkup muka atau SGA ( Difficult face mask or Supraglottic Airway/
SGA ventilation ), Kesulitan menempatkan SGA ( Difficult SGA placement ), Laringoskopi yang sulit ( Difficult Laryngoscopy ), Kesulitan pada
intubasi trakea ( Difficult tracheal
intubation ), Intubasi gagal ( Failed
intubation )
DAFTAR
PUSTAKA
1.
American Society of
Anesthesiologists, 2013.
Practice
Guidelines for Management of the Difficult Airway-An Updated Report by the American Society of
Anesthesiologists Task Force on Management of the Difficult
Airway. Jurnal American Society of
Anesthesiologists.
2.
Kortbeek, J.B. et al., 2008. Advanced trauma life support, 8th edition, the evidence
for change. The Journal of trauma.
3.
G.
Edward Morgan, Jr., Maged S. Mikhail, Michael J. Murray, (2006), Clinic
Anesthesiologi, McGraw Hill, New York.
4.
Johansen LC, Mupanemunda RH, Danha RF.
2012. Managing the newborn infant with a difficult airway. infant.
5.
Morgan GE et al. 2006. Clinical Anesthesiology. 4th
edition. New York: Lange Medical Book.
6.
ASA. 2013. Practice Guidelines for Management of the Difficult Airway. The
American Society of Anesthesiology.
7.
Birnbaumer DM. Airway Assessment Using
"LEMON" Score Predicts Difficult ED Intubation. Emerg Med J 2005.
Available at: http://www.jwatch.org/em200502160000001/2005/02/16/airway-assessment-using-lemon-score-predicts#sthash.E216Wqd6.dpuf
8.
Nichole Bosson et al. 2017. Laryngeal Mask Airway. Available at : https://emedicine.medscape.com/article/82527-overview
9.
Morgan, dkk. (2007). Anestesiologi
Klinik. USA : Appleton & Lange
10. Monem
A, Khan FA. Laryngeal Mask Airway insertion anaesthesia and insertion
technique. J Pak Med Assoc,2007.
11. Sinta.
2017. LMA. Available :
http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:nxhCMOn6yNEJ:sinta.unud.ac.id/uploads/dokumen_dir/543da1897b55e0208f08bbaa7bde41d5.pdf+&cd=1&hl=en&ct=clnk&gl=id
12. M.
Walls, Michael Francis. 2008. Manual of Emergency Airway Management.
Philadelpia. Available at : https://books.google.co.id/books?id=k08EuDyQEwcC&pg=PA90&lpg=PA90&dq=SHORT+kesulitan+cricothyroidotomy&source=bl&ots=f-HNVy4XJs&sig=p7_eieWl55qSrVodB450aPAlf8Y&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwisuYH-ysncAhXCE4gKHUXcB2kQ6AEwBnoECAAQAQ#v=onepage&q&f=false
13. James
Hsiao and Victor Pacheco. 2008. Cricothyroidotomy. New york.
14. Morgan GE et al. Clinical
Anesthesiology. 4th edition. New York: Lange Medical Book. 2006.
No comments:
Post a Comment