ATRIAL FIBRILASI
Fibrilasi atrium, atrial
flutter, dan takikardi atrium merupakan jenis aritmia yang sering dijumpai.
fibrilasi atrium adalah jenis aritmia yang paling sering dan prevalensinya
meningkat.1 Fibrilasi atrium mempunyai karakteristik berupa aktivasi elektrik
atrium yang tidak teratur dan kontraksi atrium yang tidak terkoordinasi.
EPIDEMIOLOGI
Fibrilasi atrium diderita
oleh 1% - 2% penduduk dunia dengan rata – rata usia 40 – 50 tahun, sekitar 5% -
15% penderita berusia >80 tahun. Penduduk keturunan Eropa dikatakan memiliki
risiko fibrilasi atrium setelah usia >40 tahun, risiko pada pria (26%)
sedikit lebih tinggi dibandingkan wanita (23%). menunjukkan peningkatan
insidens fibrilasi atrium antara tahun 1990 dan 2000, terlihat fibrilasi atrium
lebih banyak di negara maju dibandingkan di negara berkembang.
ETIOLOGI
Pada
dasarnya etiologi yang terkait dengan atrial fibrilasi terbagi menjadi beberapa
faktor-faktor, diantaranya yaitu :
a.
Peningkatan tekanan atau resistensi atrium
·
Peningkatan katub
jantung
·
Kelainan
pengisian dan pengosongan ruang atrium
·
Hipertrofi
jantung
·
Kardiomiopati
·
Hipertensi pulmo
(chronic obstructive purmonary disease dan cor pulmonary chronic)
· Tumor intracardiac
b.
Proses Infiltratif dan Inflamasi
·
Pericarditis atau
miocarditis
·
Amiloidosis dan
sarcoidosis
· Faktor peningkatan usia
c.
Proses Infeksi
· Demam dan segala macam infeksi
d. Kelainan Endokrin
·
Hipertiroid,
Feokromotisoma
e. Neurogenik
·
Stroke,
Perdarahan Subarachnoid
f. Iskemik Atrium
·
Infark
miocardial
g. Obat-obatan
·
Alkohol,
Kafein
h. Keturunan atau Genetik
KLASIFIKASI
Banyak tipe atau klasifikasi atrial fibrilasi yang
umum dibahas. Beberapa hal antaranya berdasarkan waktu timbulnya dan
keberhasilan intervensi, berdasarkan ada tidaknya penyakit lain yang mendasari,
dan terakhir berdasarkan bentuk gelombang P.
Beberapa keperpustakaan tertulis ada beberapa sistem
klasifikasi atrial fibrilasi yang telah dikemukanakan, seperti :
1. Berdasarkan laju respon ventrikel, atrial fibrilasi
dibagi menjadi :
·
AF respon cepat (rapid
response) dimana laju ventrikel lebih dari 100 kali permenit
·
AF respon lambat
(slow response) dimana laju ventrikel lebih kurang dari 60 kali permenit
· Af respon normal (normo response) dimana laju
ventrikel antara 60-100 kali permenit.
2. Berdasarkan keadaan Hemodinamik saat AF muncul,
maka dapat diklasifikasikan menjadi :
·
AF dengan
hemodinamik tidak stabil (gagal jantung, angina atau infark miokard akut)
· AF dengan hemodinamik stabil
3. Klasifikasi menurut American
Heart Assoiation (AHA), atrial fibriasi (AF) dibedakan menjadi 4 jenis,
yaitu:
·
AF
deteksi pertama yaitu tahap dimana belum pernah terdeteksi AF sebelumnya dan
baru pertama kali terdeteksi.
·
AF
paroksimal bila atrial fibrilasi berlangsung kurang dari 7 hari. Lebih kurang
50% atrial fibrilasi paroksimal akan kembali ke irama sinus secara spontan
dalam waktu 24 jam. Atrium fibrilasi yang episode pertamanya kurang dari 48 jam
juga disebut AF Paroksimal.
·
AF
persisten bila atrial fibrilasi menetap lebih dari 48 jam tetapi kurang dari 7
hari. Pada AF persisten diperlukan kardioversi untuk mengembalikan ke irama
sinus.
·
AF
kronik atau permanen bila atrial fibrilasi berlangsung lebih dari 7 hari.
Biasanya dengan kardioversi pun sulit untuk mengembalikan ke irama sinus
(resisten)
PATOMEKANISME
Sampai
saat ini patofisiologi terjadinya FA masih belum sepenuhnya dipahami dan
dipercaya bersifat multifaktorial. Dua konsep yang banyak dianut tentang
mekanisme FA adalah 1) adanya faktor pemicu (trigger); dan 2) faktor-faktor
yang melanggengkan. Pada pasien dengan FA yang sering kambuh tetapi masih dapat
konversi secara spontan, mekanisme utama yang mendasari biasanya karena adanya
faktor pemicu (trigger) FA, sedangkan pada pasien FA
yang tidak dapat konversi secara spontan biasanya didominasi adanya
faktor-faktor yang melanggengkan.
a.Perubahan patofisiologis yang
mendahului terjadinya FA
Berbagai jenis penyakit jantung
struktural dapat memicu remodelling yang perlahan tetapi progresif baik di ventrikel maupun atrium.
Proses remodelling yang terjadi di atrium ditandai dengan proliferasi dan
diferensiasi fibroblas menjadi miofibroblas yang dapat meningkatkan deposisi
jaringan ikat dan fibrosis di atrium. Proses remodelling
atrium menyebabkan gangguan elektris
antara serabut otot dan serabut konduksi di atrium, serta menjadi faktor pemicu
sekaligus faktor yang melanggengkan terjadinya FA. Substrat elektroanatomis ini
memfasilitasi terjadinya sirkuit reentri yang akan melanggengkan terjadinya
aritmia.
Sistem saraf simpatis maupun
parasimpatis di dalam jantung juga memiliki peran yang penting dalam
patofisiologi FA, yaitu melalui peningkatan Ca2+ intraselular oleh sistem saraf
simpatis dan pemendekan periode refrakter efektif atrium oleh sistem saraf
parasimpatis (vagal).10 Stimulasi pleksus ganglionik akan memudahkan
terangsangnya FA melalui vena pulmoner (VP), sehingga pleksus ganglionik dapat
dipertimbangkan sebagai salah satu target ablasi. Namun, manfaat ablasi pleksus
ganglionik sampai sekarang masih belum jelas.
Setelah munculnya FA, perubahan sifat
elektrofisiologis atrium, fungsi mekanis, dan ultra struktur atrium terjadi
pada rentang waktu dan
dengan konsekuensi patofisiologis yang berbeda. Sebuah studi melaporkan
terjadinya pemendekan periode refrakter efektif atrium pada hari-hari pertama
terjadinya FA.12 Proses remodelling elektrikal
memberikan kontribusi terhadap peningkatan stabilitas FA selama hari-hari
pertama setelah onset. Mekanisme selular utama yang mendasari pemendekan
periode refrakter adalah penurunan (downregulation) arus masuk
kalsium (melalui kanal tipe-L) dan peningkatan (up-regulation) arus masuk kalium. Beberapa hari setelah kembali
ke irama sinus, maka periode refrakter atrium akan kembali normal.
Gangguan
fungsi kontraksi atrium juga terjadi pada beberapa hari setelah terjadinya FA.
Mekanisme yang mendasari gangguan ini adalah penurunan arus masuk kalsium,
hambatan pelepasan kalsium intraselular dan perubahan pada energetika
miofibril.
b. Mekanisme elektrofisiologis
Awitan dan keberlangsungan takiaritmia
membutuhkan adanya pemicu (trigger) dan substrat.
Atas dasar itu, mekanisme elektrofisiologis FA dapat dibedakan menjadi
mekanisme fokal karena adanya pemicu dan mekanisme reentri mikro (multiple
wavelet hypothesis) karena adanya substrat . Meskipun demikian,
keberadaan kedua hal ini dapat berdiri sendiri atau muncul bersamaan.
c. Mekanisme fokal
Mekanisme fokal adalah mekanisme FA
dengan pemicu dari daerah-daerah tertentu, yakni 72% di VP dan sisanya
(28%) bervariasi dari vena kava superior
(37%), dinding posterior atrium kiri (38,3%), krista terminalis (3,7%), sinus
koronarius (1,4%), ligamentum Marshall (8,2%), dan septum interatrium.
Mekanisme seluler dari aktivitas fokal mungkin melibatkan mekanisme triggered activity dan
reentri. Vena pulmoner memiliki potensi yang kuat untuk memulai dan
melanggengkan takiaritmia atrium, karena VP memiliki periode refrakter yang
lebih pendek serta adanya perubahan drastis orientasi serat miosit.
Pada pasien dengan FA paroksismal,
intervensi ablasi di daerah pemicu yang memiliki frekuensi tinggi dan dominan
(umumnya berada pada atau dekat dengan batas antara VP dan atrium kiri) akan
menghasilkan pelambatan frekuensi FA secara progresif dan selanjutnya terjadi
konversi menjadi irama sinus. Sedangkan pada pasien dengan FA persisten, daerah
yang memiliki frekuensi tinggi dan dominan tersebar di seluruh atrium, sehingga
lebih sulit untuk melakukan tindakan ablasi atau konversi ke irama sinus
MANIFESTASI KLINIS
Pada dasarnya, atrial fibrilasi tidak memberikan tanda
dan gejala yang khas dan spesifik pada perjalanan penyakitnya. Umumnya gejala
dari atrial fibrilasi adalah peningkatan denyut jantung, ketidakteraturan irama
jantung dan ketidakstabilan hemodinamik. Disamping itu, atrial fibrilasi juga
memberikan gejala lain yang diakibatkan oleh penurunan oksigenisasi darah ke
jaringan, seperti pusing, kelemahan, kelelahan, sesak nafas dan nyeri dada.
Akan tetapi, lebih dari 90% episode dari atrial fibrilasi tidak menimbulkan
gejala-gejala tersebut.
Tanda dan gejala lain pada atrial fibrilasi seperti
palpitasi.25 Palpitasi merupakan salah satu gejala yang sering
muncul pada pasien dengan atrial fibrilasi akibat respon ventrikel yang
ireguler. Namun gejala palpitasi dapat juga terjadi pada pasien dengan penyakit
jantung lainnya. Palpitasi belum menjadi gejala yang spesifik untuk mendasari
pasien mengalami atrial fibrilasi. Untuk menunjukkan adanya atrial fibrilasi,
pasien biasanya disertai dengan keluhan kesulitan bernafas seperti sesak, syncope,
pusing dan ketidaknyamanan pada dada. Gejala tersebut di atas dialami oleh
pasien dimana pasien juga mengeluh dadanya terasa seperti diikat, sesak nafas
dan lemas.
Sering
pada pasien yang berjalan, pasien merasakan sakit kepala seperti berputar-putar
dan melayang tetapi tidak sampai pingsan. Serta nadi tidak teratur, cepat,
dengan denyut sekitar 140x/menit. Atrial fibrilasi dapat disertai dengan
pingsan (syncope) ataupun dengan pusing yang tak terkendali. Kondisi ini
akibat menurunnya suplai darah ke sitemik dan ke otak.
Pada
elektrokardiogram (EKG), ciri dari FA adalah tiadanya konsistensi gelombang P,
yang digantikan oleh gelombang getar (fibrilasi) yang bervariasi amplitudo,
bentuk dan durasinya. Pada fungsi NAV yang normal, FA biasanya disusul oleh
respons ventrikel yang juga ireguler, dan seringkali cepat.
Ciri-ciri FA
pada gambaran EKG umumnya sebagai berikut:
1. EKG permukaan
menunjukkan pola interval RR yang ireguler
2. Tidak
dijumpainya gelombang P yang jelas pada EKG permukaan. Kadang-kadang dapat
terlihat aktivitas atrium yang ireguler pada beberapa sadapan EKG, paling
sering pada sadapan V1.
3. Interval
antara dua gelombang aktivasi atrium tersebut biasanya bervariasi, umumnya
kecepatannya melebihi 450x/menit.
DIAGNOSIS
Dalam
penegakan diagnosis FA, terdapat beberapa pemeriksaan minimal yang harus
dilakukan dan pemeriksaan tambahan sebagai pelengkap.
a.
Anamnesis
Spektrum
presentasi klinis FA sangat bervariasi, mulai dari asimtomatik hingga syok
kardiogenik atau kejadian serebrovaskular berat. Hampir >50% episode FA
tidak menyebabkan gejala (silent atrial
fibrillation).31
Beberapa gejala ringan yang mungkin dikeluhkan pasien antara lain:
·
Palpitasi.
Umumnya diekspresikan oleh pasien sebagai: pukulan genderang, gemuruh guntur,
atau kecipak ikan di dalam dada.
·
Mudah
lelah atau toleransi rendah terhadap aktivitas fisik
·
Presinkop
atau sinkop
·
Kelemahan
umum, pusing
Selain itu, FA
juga dapat menyebabkan gangguan hemodinamik, kardiomiopati yang diinduksi oleh
takikardia, dan tromboembolisme sistemik. Penilaian awal dari pasien dengan FA
yang baru pertama kali terdiagnosis harus berfokus pada stabilitas hemodinamik
dari pasien.
Selain mencari
gejala-gejala tersebut diatas, anamnesis dari setiap pasien yang dicurigai
mengalami FA harus meliputi pertanyaanpertanyaan yang relevan, seperti:
• Penilaian klasifikasi FA berdasarkan
waktu presentasi, durasi, dan frekuensi gejala.
• Penilaian faktor-faktor presipitasi
(misalnya aktivitas, tidur, alkohol). Peran kafein sebagai faktor pemicu masih
kontradiktif.
• Penilaian cara terminasi (misalnya
manuver vagal).
• Riwayat penggunaan obat antiaritmia
dan kendali laju sebelumnya.
• Penilaian adakah penyakit jantung
struktural yang mendasarinya.
• Riwayat prosedur ablasi FA secara
pembedahan (operasi Maze) atau perkutan (dengan kateter).
• Evaluasi penyakit-penyakit
komorbiditas yang memiliki potensi untuk berkontribusi terhadap inisiasi FA
(misalnya hipertensi, penyakit jantung koroner, diabetes melitus, hipertiroid,
penyakit jantung valvular, dan PPOK).
b.
Pemeriksaan fisis
Pemeriksaan
fisis selalu dimulai dengan pemeriksaan jalan nafas (Airway),
pernafasan (Breathing) dan sirkulasi (Circulation) dan tanda-tanda vital, untuk mengarahkan tindak
lanjut terhadap FA. Pemeriksaan fisis juga dapat memberikan informasi tentang
dasar penyebab dan gejala sisa dari FA.
Tanda Vital
Pengukuran laju
nadi, tekanan darah, kecepatan nafas dan saturasi oksigen sangat penting dalam evaluasi
stabilitas hemodinamik dan kendali laju yang adekuat pada FA. Pada pemeriksaan
fisis, denyut nadi umumnya ireguler dan cepat, sekitar 110-140x/menit, tetapi
jarang melebihi
160-170x/menit. Pasien dengan hipotermia atau dengan toksisitas obat jantung
(digitalis) dapat mengalami bradikadia.
Kepala dan Leher
Pemeriksaan
kepala dan leher dapat menunjukkan eksoftalmus, pembesaran tiroid, peningkatan
tekanan vena jugular atau sianosis. Bruit
pada
arteri karotis mengindikasikan penyakit arteri perifer dan kemungkinan adanya
komorbiditas penyakit jantung koroner.
Paru
Pemeriksaan paru
dapat mengungkap tanda-tanda gagal jantung (misalnya ronki, efusi pleura).
Mengi atau pemanjangan ekspirasi mengindikasikan adanya penyakit paru kronik
yang mungkin mendasari terjadinya FA (misalnya PPOK, asma)
Jantung
Pemeriksaan
jantung sangat penting dalam pemeriksaan fisis pada pasien FA. Palpasi dan
auskultasi yang menyeluruh sangat penting untuk mengevaluasi penyakit jantung
katup atau
kardiomiopati.
Pergeseran dari punctum maximum atau adanya
bunyi jantung tambahan (S3) mengindikasikan pembesaran ventrikel dan peningkatan
tekanan ventrikel kiri. Bunyi II (P2) yang mengeras dapat menandakan adanya
hipertensi pulmonal. Pulsus defisit, dimana terdapat selisih jumlah nadi yang
teraba dengan auskultasi laju jantung dapat ditemukan pada pasien FA.
Abdomen
Adanya asites,
hepatomegali atau kapsul hepar yang teraba mengencang dapat mengindikasikan
gagal jantung kanan atau penyakit hati intrinsik. Nyeri kuadran kiri atas,
mungkin disebabkan infark limpa akibat embolisasi perifer.
Ekstremitas
bawah
Pada pemeriksaan
ekstremitas bawah dapat ditemukan sianosis, jari tabuh atau edema. Ekstremitas
yang dingin dan tanpa nadi mungkin mengindikasikan embolisasi perifer.
Melemahnya nadi perifer dapat mengindikasikan penyakit arterial perifer atau
curah jantung yang menurun.
Neurologis
Tanda-tanda Transient Ischemic Attack (TIA) atau kejadian serebrovaskular
terkadang dapat ditemukan pada pasien FA. Peningkatan refleks dapat ditemukan
pada hipertiroidisme.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
a.
Pemeriksaan Lab
Pemeriksaan laboratorium ditujukan untuk
mencari gangguan/ penyakit yang tersembunyi, terutama apabila laju ventrikel
sulit dikontrol. Satu studi menunjukkan bahwa elevasi ringan troponin I saat
masuk rumah sakit terkait dengan mortalitas dan kejadian kardiak yang lebih
tinggi, dan mungkin berguna untuk stratifikasi risiko.
Pemeriksaan
laboratorium yang dapat diperiksa antara lain:
• Darah lengkap
(anemia, infeksi)
• Elektrolit,
ureum, kreatinin serum (gangguan elektrolit atau gagal ginjal)
• Enzim jantung
seperti CKMB dan atau troponin (infark miokard sebagai pencetus FA)
• Peptida
natriuretik (BNP, N-terminal pro-BNP dan ANP) memiliki asosiasi dengan FA.
Level plasma dari peptida natriuretik tersebut meningkat pada pasien dengan FA
paroksismal maupun persisten, dan menurun kembali dengan cepat setelah
restorasi irama sinus.37
• D-dimer (bila
pasien memiliki risiko emboli paru)
• Fungsi tiroid
(tirotoksikosis)
• Kadar digoksin
(evaluasi level subterapeutik dan/atau toksisitas)
• Uji
toksikologi atau level etanol
b.
EKG
Temuan EKG biasanya dapat
mengkonfirmasi diagnosis FA dan biasanya mencakup laju ventrikel bersifat
ireguler dan tidak terdapat gelombang P yang jelas, digantikan oleh gelombang F
yang ireguler dan acak, diikuti oleh kompleks QRS yang ireguler pula.
Manifestasi
EKG lainnya yang dapat menyertai FA antara lain:
• Laju jantung umumnya berkisar
110-140x/menit, tetapi jarang melebihi 160-170x/menit.
• Dapat
ditemukan denyut dengan konduksi aberan (QRS lebar) setelah siklus interval R-R
panjang-pendek (fenomena Ashman)
• Preeksitasi
• Hipertrofi ventrikel kiri
• Blok berkas cabang
• Tanda infark akut/lama
Elektrokardiogram juga diperlukan untuk memonitor interval QT dan QRS dari
pasien yang mendapatkan terapi antiaritmia untuk FA.
c.
Foto toraks
Pemeriksaan
foto toraks biasanya normal, tetapi kadangkadang dapat ditemukan bukti gagal
jantung atau tanda-tanda patologi parenkim atau vaskular paru (misalnya emboli
paru, pneumonia).
d.
Uji latih
atau uji berjalan enam-menit
Uji
latih atau uji berjalan enam-menit dapat membantu menilai apakah strategi
kendali laju sudah adekuat atau belum (target nadi <110x 1c="" 6-menit="" aktivitas="" antiaritmia="" berjalan="" dan="" dapat="" dicetuskan="" digunakan="" fa="" fisik.="" iskemia="" juga="" kelas="" latih="" memberikan="" menit="" menyingkirkan="" mereproduksi="" obat="" oleh="" sebelum="" setelah="" span="" uji="" untuk="" yang="">110x>
e.
Ekokardiografi
Ekokardiografi
transtorakal memiliki sensitivitas yang rendah dalam mendeteksi trombus di
atrium kiri, dan ekokardiografi transesofageal adalah modalitas terpilih
untuk tujuan ini. Ekokardiografi transtorakal (ETT)
terutama bermanfaat untuk :
• Evaluasi penyakit jantung katup
• Evaluasi ukuran atrium,
ventrikel dan dimensi dinding
• Estimasi fungsi ventrikel dan
evaluasi trombus ventrikel
• Estimasi tekanan sistolik paru
(hipertensi pulmonal)
• Evaluasi penyakit perikardial
Ekokardiografi transesofageal
(ETE) terutama bermanfaat untuk :
• Trombus atrium kiri (terutama
di AAK)
• Memandu kardioversi (bila
terlihat trombus, kardioversi harus
ditunda)
f.
Computed tomography (CT) scan dan magnetic resonance imaging (MRI)
Pada pasien dengan hasil D-dimer
positif, CT angiografi mungkin diperlukan untuk menyingkirkan emboli paru.
Teknologi 3 dimensi seperti CT scan
atau
MRI seringkali berguna untuk mengevaluasi anatomi atrium bila direncanakan
ablasi FA. Data pencitraan dapat diproses untuk menciptakan peta anatomis dari
atrium kiri dan VP.
g.
Monitor
Holter atau event
recording
Monitor Holter dan event recording dapat berguna untuk menegakkan diagnosis
FA paroksismal, dimana pada saat presentasi, FA tidak terekam pada EKG. Selain
itu, alat ini juga dapat digunakan untuk mengevaluasi dosis obat dalam kendali
laju atau kendali irama.
h.
Studi Elektrofisiologi
Studi elektrofisiologi dapat
membantu mengidentifikasi mekanisme takikardia QRS lebar, aritmia predisposisi,
atau penentuan situs ablasi kuratif.
PENATALAKSANAAN
1. Kardioversi Farmakologis
Fibrilasi atrial
paroksismal
-
Bila
asimtomatik, tidak diberikan obat hanya edukasi
-
Bila
menimbulkan keluhan yang mermerlukan pengobatan dan tanpa kelainan jantung atau
disertai kelainan jantung minimal dapat diberi obat penyekat beta atau obat
antiaritmia kelas IC seperti propafenon atau flekainid
-
Bila
obat tersebut gagal dapat diberikan amiodaron
-
Amiodaron
merupakan obat pilihan bila disertai kelainan jantung yang signifikan
Fibrilasi
atrial persisten
-
Bila
FA tidak kembali ke irama sinus secara spontan kurang dari 48 jam, perlu
dilakukan kardioversi ke irama sinus dengan obat-obatan, setelah kardioversi
diberikan obat antikoagulan selama 4 minggu. Obat antiaritmia yang dianjurkan
kela IC (profenon dan flekainid)
-
Bila
FA lebih dari 48 jam atau tidak diketahui lamanya maka pasien diberi obat
antikoagulan kurang lebih 3 minggu sebelum dilakukan kardioversi farmakologis
atau elektrik, selama periode tersebut dapat diberikan obat-obat digoksin,
penyekat beta, dan antagonis kalsium untuk mengontrol laju ventrikel.
Fibrilasi
atrial permanen
-
Kardioversi
tidak efektif
-
Kontrol
laju ventrikel dengan digoksin, penyekat beta, atau antagonis kalsium
-
Bila
tidak berhasil pasien dirujuk untuk pertimbangkan ablasi nodus AV, atau
pemasangan pacu jantung permanen
-
FA
resisten, perlu pemberian antritromboemboli
2.
Kardioversi
Elektrik
Pasien FA dengan
hemodinamik tidak stabil, iskemia, hipotensi, sinkop, perlu segera dilakukan
kardioversi elektrik dimulai dengan 100 joule.
PROGNOSIS
Tergantung penyebab, respon
terapi
No comments:
Post a Comment