Search This Blog

Friday, January 19, 2018

ATRIAL FIBRILASI



ATRIAL FIBRILASI
Fibrilasi atrium, atrial flutter, dan takikardi atrium merupakan jenis aritmia yang sering dijumpai. fibrilasi atrium adalah jenis aritmia yang paling sering dan prevalensinya meningkat.1 Fibrilasi atrium mempunyai karakteristik berupa aktivasi elektrik atrium yang tidak teratur dan kontraksi atrium yang tidak terkoordinasi.

EPIDEMIOLOGI
Fibrilasi atrium diderita oleh 1% - 2% penduduk dunia dengan rata – rata usia 40 – 50 tahun, sekitar 5% - 15% penderita berusia >80 tahun. Penduduk keturunan Eropa dikatakan memiliki risiko fibrilasi atrium setelah usia >40 tahun, risiko pada pria (26%) sedikit lebih tinggi dibandingkan wanita (23%). menunjukkan peningkatan insidens fibrilasi atrium antara tahun 1990 dan 2000, terlihat fibrilasi atrium lebih banyak di negara maju dibandingkan di negara berkembang.

ETIOLOGI
Pada dasarnya etiologi yang terkait dengan atrial fibrilasi terbagi menjadi beberapa faktor-faktor, diantaranya yaitu :
a. Peningkatan tekanan atau resistensi atrium
·      Peningkatan katub jantung
·      Kelainan pengisian dan pengosongan ruang atrium
·      Hipertrofi jantung
·      Kardiomiopati
·      Hipertensi pulmo (chronic obstructive purmonary disease dan cor pulmonary chronic)
·      Tumor intracardiac
b. Proses Infiltratif dan Inflamasi
·      Pericarditis atau miocarditis
·      Amiloidosis dan sarcoidosis
·      Faktor peningkatan usia
c. Proses Infeksi
·      Demam dan segala macam infeksi
d. Kelainan Endokrin
·      Hipertiroid, Feokromotisoma
e. Neurogenik
·      Stroke, Perdarahan Subarachnoid
f. Iskemik Atrium
·      Infark miocardial
g. Obat-obatan
·      Alkohol, Kafein
h. Keturunan atau Genetik



KLASIFIKASI
Banyak tipe atau klasifikasi atrial fibrilasi yang umum dibahas. Beberapa hal antaranya berdasarkan waktu timbulnya dan keberhasilan intervensi, berdasarkan ada tidaknya penyakit lain yang mendasari, dan terakhir berdasarkan bentuk gelombang P.
Beberapa keperpustakaan tertulis ada beberapa sistem klasifikasi atrial fibrilasi yang telah dikemukanakan, seperti :
1. Berdasarkan laju respon ventrikel, atrial fibrilasi dibagi menjadi :
·      AF respon cepat (rapid response) dimana laju ventrikel lebih dari 100 kali permenit
·      AF respon lambat (slow response) dimana laju ventrikel lebih kurang dari 60 kali permenit
·      Af respon normal (normo response) dimana laju ventrikel antara 60-100 kali permenit.

2. Berdasarkan keadaan Hemodinamik saat AF muncul, maka dapat diklasifikasikan menjadi :
·      AF dengan hemodinamik tidak stabil (gagal jantung, angina atau infark miokard akut)
·      AF dengan hemodinamik stabil

3. Klasifikasi menurut American Heart Assoiation (AHA), atrial fibriasi (AF) dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu:
·      AF deteksi pertama yaitu tahap dimana belum pernah terdeteksi AF sebelumnya dan baru pertama kali terdeteksi.
·      AF paroksimal bila atrial fibrilasi berlangsung kurang dari 7 hari. Lebih kurang 50% atrial fibrilasi paroksimal akan kembali ke irama sinus secara spontan dalam waktu 24 jam. Atrium fibrilasi yang episode pertamanya kurang dari 48 jam juga disebut AF Paroksimal.
·      AF persisten bila atrial fibrilasi menetap lebih dari 48 jam tetapi kurang dari 7 hari. Pada AF persisten diperlukan kardioversi untuk mengembalikan ke irama sinus.
·      AF kronik atau permanen bila atrial fibrilasi berlangsung lebih dari 7 hari. Biasanya dengan kardioversi pun sulit untuk mengembalikan ke irama sinus (resisten)

PATOMEKANISME
Sampai saat ini patofisiologi terjadinya FA masih belum sepenuhnya dipahami dan dipercaya bersifat multifaktorial. Dua konsep yang banyak dianut tentang mekanisme FA adalah 1) adanya faktor pemicu (trigger); dan 2) faktor-faktor yang melanggengkan. Pada pasien dengan FA yang sering kambuh tetapi masih dapat konversi secara spontan, mekanisme utama yang mendasari biasanya karena adanya faktor pemicu (trigger) FA, sedangkan pada pasien FA yang tidak dapat konversi secara spontan biasanya didominasi adanya faktor-faktor yang melanggengkan.
a.Perubahan patofisiologis yang mendahului terjadinya FA
Berbagai jenis penyakit jantung struktural dapat memicu remodelling yang perlahan tetapi progresif baik di ventrikel maupun atrium. Proses remodelling yang terjadi di atrium ditandai dengan proliferasi dan diferensiasi fibroblas menjadi miofibroblas yang dapat meningkatkan deposisi jaringan ikat dan fibrosis di atrium. Proses remodelling atrium menyebabkan gangguan elektris antara serabut otot dan serabut konduksi di atrium, serta menjadi faktor pemicu sekaligus faktor yang melanggengkan terjadinya FA. Substrat elektroanatomis ini memfasilitasi terjadinya sirkuit reentri yang akan melanggengkan terjadinya aritmia.
Sistem saraf simpatis maupun parasimpatis di dalam jantung juga memiliki peran yang penting dalam patofisiologi FA, yaitu melalui peningkatan Ca2+ intraselular oleh sistem saraf simpatis dan pemendekan periode refrakter efektif atrium oleh sistem saraf parasimpatis (vagal).10 Stimulasi pleksus ganglionik akan memudahkan terangsangnya FA melalui vena pulmoner (VP), sehingga pleksus ganglionik dapat dipertimbangkan sebagai salah satu target ablasi. Namun, manfaat ablasi pleksus ganglionik sampai sekarang masih belum jelas.
Setelah munculnya FA, perubahan sifat elektrofisiologis atrium, fungsi mekanis, dan ultra struktur atrium terjadi pada rentang waktu dan dengan konsekuensi patofisiologis yang berbeda. Sebuah studi melaporkan terjadinya pemendekan periode refrakter efektif atrium pada hari-hari pertama terjadinya FA.12 Proses remodelling elektrikal memberikan kontribusi terhadap peningkatan stabilitas FA selama hari-hari pertama setelah onset. Mekanisme selular utama yang mendasari pemendekan periode refrakter adalah penurunan (downregulation) arus masuk kalsium (melalui kanal tipe-L) dan peningkatan (up-regulation) arus masuk kalium. Beberapa hari setelah kembali ke irama sinus, maka periode refrakter atrium akan kembali normal.
Gangguan fungsi kontraksi atrium juga terjadi pada beberapa hari setelah terjadinya FA. Mekanisme yang mendasari gangguan ini adalah penurunan arus masuk kalsium, hambatan pelepasan kalsium intraselular dan perubahan pada energetika miofibril.
b. Mekanisme elektrofisiologis
Awitan dan keberlangsungan takiaritmia membutuhkan adanya pemicu (trigger) dan substrat. Atas dasar itu, mekanisme elektrofisiologis FA dapat dibedakan menjadi mekanisme fokal karena adanya pemicu dan mekanisme reentri mikro (multiple wavelet hypothesis) karena adanya substrat . Meskipun demikian, keberadaan kedua hal ini dapat berdiri sendiri atau muncul bersamaan.
c. Mekanisme fokal
Mekanisme fokal adalah mekanisme FA dengan pemicu dari daerah-daerah tertentu, yakni 72% di VP dan sisanya (28%)  bervariasi dari vena kava superior (37%), dinding posterior atrium kiri (38,3%), krista terminalis (3,7%), sinus koronarius (1,4%), ligamentum Marshall (8,2%), dan septum interatrium. Mekanisme seluler dari aktivitas fokal mungkin melibatkan mekanisme triggered activity dan reentri. Vena pulmoner memiliki potensi yang kuat untuk memulai dan melanggengkan takiaritmia atrium, karena VP memiliki periode refrakter yang lebih pendek serta adanya perubahan drastis orientasi serat miosit.
Pada pasien dengan FA paroksismal, intervensi ablasi di daerah pemicu yang memiliki frekuensi tinggi dan dominan (umumnya berada pada atau dekat dengan batas antara VP dan atrium kiri) akan menghasilkan pelambatan frekuensi FA secara progresif dan selanjutnya terjadi konversi menjadi irama sinus. Sedangkan pada pasien dengan FA persisten, daerah yang memiliki frekuensi tinggi dan dominan tersebar di seluruh atrium, sehingga lebih sulit untuk melakukan tindakan ablasi atau konversi ke irama sinus

MANIFESTASI KLINIS
Pada dasarnya, atrial fibrilasi tidak memberikan tanda dan gejala yang khas dan spesifik pada perjalanan penyakitnya. Umumnya gejala dari atrial fibrilasi adalah peningkatan denyut jantung, ketidakteraturan irama jantung dan ketidakstabilan hemodinamik. Disamping itu, atrial fibrilasi juga memberikan gejala lain yang diakibatkan oleh penurunan oksigenisasi darah ke jaringan, seperti pusing, kelemahan, kelelahan, sesak nafas dan nyeri dada. Akan tetapi, lebih dari 90% episode dari atrial fibrilasi tidak menimbulkan gejala-gejala tersebut.
Tanda dan gejala lain pada atrial fibrilasi seperti palpitasi.25 Palpitasi merupakan salah satu gejala yang sering muncul pada pasien dengan atrial fibrilasi akibat respon ventrikel yang ireguler. Namun gejala palpitasi dapat juga terjadi pada pasien dengan penyakit jantung lainnya. Palpitasi belum menjadi gejala yang spesifik untuk mendasari pasien mengalami atrial fibrilasi. Untuk menunjukkan adanya atrial fibrilasi, pasien biasanya disertai dengan keluhan kesulitan bernafas seperti sesak, syncope, pusing dan ketidaknyamanan pada dada. Gejala tersebut di atas dialami oleh pasien dimana pasien juga mengeluh dadanya terasa seperti diikat, sesak nafas dan lemas.
Sering pada pasien yang berjalan, pasien merasakan sakit kepala seperti berputar-putar dan melayang tetapi tidak sampai pingsan. Serta nadi tidak teratur, cepat, dengan denyut sekitar 140x/menit. Atrial fibrilasi dapat disertai dengan pingsan (syncope) ataupun dengan pusing yang tak terkendali. Kondisi ini akibat menurunnya suplai darah ke sitemik dan ke otak.
Pada elektrokardiogram (EKG), ciri dari FA adalah tiadanya konsistensi gelombang P, yang digantikan oleh gelombang getar (fibrilasi) yang bervariasi amplitudo, bentuk dan durasinya. Pada fungsi NAV yang normal, FA biasanya disusul oleh respons ventrikel yang juga ireguler, dan seringkali cepat.
Ciri-ciri FA pada gambaran EKG umumnya sebagai berikut:
1. EKG permukaan menunjukkan pola interval RR yang ireguler
2. Tidak dijumpainya gelombang P yang jelas pada EKG permukaan. Kadang-kadang dapat terlihat aktivitas atrium yang ireguler pada beberapa sadapan EKG, paling sering pada sadapan V1.
3. Interval antara dua gelombang aktivasi atrium tersebut biasanya bervariasi, umumnya kecepatannya melebihi 450x/menit.

DIAGNOSIS
Dalam penegakan diagnosis FA, terdapat beberapa pemeriksaan minimal yang harus dilakukan dan pemeriksaan tambahan sebagai pelengkap.
a.       Anamnesis
Spektrum presentasi klinis FA sangat bervariasi, mulai dari asimtomatik hingga syok kardiogenik atau kejadian serebrovaskular berat. Hampir >50% episode FA tidak menyebabkan gejala (silent atrial fibrillation).31 Beberapa gejala ringan yang mungkin dikeluhkan pasien antara lain:
·         Palpitasi. Umumnya diekspresikan oleh pasien sebagai: pukulan genderang, gemuruh guntur, atau kecipak ikan di dalam dada.
·         Mudah lelah atau toleransi rendah terhadap aktivitas fisik
·         Presinkop atau sinkop
·         Kelemahan umum, pusing

Selain itu, FA juga dapat menyebabkan gangguan hemodinamik, kardiomiopati yang diinduksi oleh takikardia, dan tromboembolisme sistemik. Penilaian awal dari pasien dengan FA yang baru pertama kali terdiagnosis harus berfokus pada stabilitas hemodinamik dari pasien.
Selain mencari gejala-gejala tersebut diatas, anamnesis dari setiap pasien yang dicurigai mengalami FA harus meliputi pertanyaanpertanyaan yang relevan, seperti:
• Penilaian klasifikasi FA berdasarkan waktu presentasi, durasi, dan frekuensi gejala.
• Penilaian faktor-faktor presipitasi (misalnya aktivitas, tidur, alkohol). Peran kafein sebagai faktor pemicu masih kontradiktif.
• Penilaian cara terminasi (misalnya manuver vagal).
• Riwayat penggunaan obat antiaritmia dan kendali laju sebelumnya.
• Penilaian adakah penyakit jantung struktural yang mendasarinya.
• Riwayat prosedur ablasi FA secara pembedahan (operasi Maze) atau perkutan (dengan kateter).
• Evaluasi penyakit-penyakit komorbiditas yang memiliki potensi untuk berkontribusi terhadap inisiasi FA (misalnya hipertensi, penyakit jantung koroner, diabetes melitus, hipertiroid, penyakit jantung valvular, dan PPOK).
b.      Pemeriksaan fisis
Pemeriksaan fisis selalu dimulai dengan pemeriksaan jalan nafas (Airway), pernafasan (Breathing) dan sirkulasi (Circulation) dan tanda-tanda vital, untuk mengarahkan tindak lanjut terhadap FA. Pemeriksaan fisis juga dapat memberikan informasi tentang dasar penyebab dan gejala sisa dari FA.
Tanda Vital
Pengukuran laju nadi, tekanan darah, kecepatan nafas dan saturasi oksigen sangat penting dalam evaluasi stabilitas hemodinamik dan kendali laju yang adekuat pada FA. Pada pemeriksaan fisis, denyut nadi umumnya ireguler dan cepat, sekitar 110-140x/menit, tetapi
jarang melebihi 160-170x/menit. Pasien dengan hipotermia atau dengan toksisitas obat jantung (digitalis) dapat mengalami bradikadia.
Kepala dan Leher
Pemeriksaan kepala dan leher dapat menunjukkan eksoftalmus, pembesaran tiroid, peningkatan tekanan vena jugular atau sianosis. Bruit pada arteri karotis mengindikasikan penyakit arteri perifer dan kemungkinan adanya komorbiditas penyakit jantung koroner.
Paru
Pemeriksaan paru dapat mengungkap tanda-tanda gagal jantung (misalnya ronki, efusi pleura). Mengi atau pemanjangan ekspirasi mengindikasikan adanya penyakit paru kronik yang mungkin mendasari terjadinya FA (misalnya PPOK, asma)
Jantung
Pemeriksaan jantung sangat penting dalam pemeriksaan fisis pada pasien FA. Palpasi dan auskultasi yang menyeluruh sangat penting untuk mengevaluasi penyakit jantung katup atau
kardiomiopati. Pergeseran dari punctum maximum atau adanya bunyi jantung tambahan (S3) mengindikasikan pembesaran ventrikel dan peningkatan tekanan ventrikel kiri. Bunyi II (P2) yang mengeras dapat menandakan adanya hipertensi pulmonal. Pulsus defisit, dimana terdapat selisih jumlah nadi yang teraba dengan auskultasi laju jantung dapat ditemukan pada pasien FA.
Abdomen
Adanya asites, hepatomegali atau kapsul hepar yang teraba mengencang dapat mengindikasikan gagal jantung kanan atau penyakit hati intrinsik. Nyeri kuadran kiri atas, mungkin disebabkan infark limpa akibat embolisasi perifer.
Ekstremitas bawah
Pada pemeriksaan ekstremitas bawah dapat ditemukan sianosis, jari tabuh atau edema. Ekstremitas yang dingin dan tanpa nadi mungkin mengindikasikan embolisasi perifer. Melemahnya nadi perifer dapat mengindikasikan penyakit arterial perifer atau curah jantung yang menurun.
Neurologis
Tanda-tanda Transient Ischemic Attack (TIA) atau kejadian serebrovaskular terkadang dapat ditemukan pada pasien FA. Peningkatan refleks dapat ditemukan pada hipertiroidisme.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
a.      Pemeriksaan Lab
Pemeriksaan laboratorium ditujukan untuk mencari gangguan/ penyakit yang tersembunyi, terutama apabila laju ventrikel sulit dikontrol. Satu studi menunjukkan bahwa elevasi ringan troponin I saat masuk rumah sakit terkait dengan mortalitas dan kejadian kardiak yang lebih tinggi, dan mungkin berguna untuk stratifikasi risiko.
Pemeriksaan laboratorium yang dapat diperiksa antara lain:
• Darah lengkap (anemia, infeksi)
• Elektrolit, ureum, kreatinin serum (gangguan elektrolit atau gagal ginjal)
• Enzim jantung seperti CKMB dan atau troponin (infark miokard sebagai pencetus FA)
• Peptida natriuretik (BNP, N-terminal pro-BNP dan ANP) memiliki asosiasi dengan FA. Level plasma dari peptida natriuretik tersebut meningkat pada pasien dengan FA paroksismal maupun persisten, dan menurun kembali dengan cepat setelah restorasi irama sinus.37
• D-dimer (bila pasien memiliki risiko emboli paru)
• Fungsi tiroid (tirotoksikosis)
• Kadar digoksin (evaluasi level subterapeutik dan/atau toksisitas)
• Uji toksikologi atau level etanol
b.      EKG
Temuan EKG biasanya dapat mengkonfirmasi diagnosis FA dan biasanya mencakup laju ventrikel bersifat ireguler dan tidak terdapat gelombang P yang jelas, digantikan oleh gelombang F yang ireguler dan acak, diikuti oleh kompleks QRS yang ireguler pula. Manifestasi EKG lainnya yang dapat menyertai FA antara lain:
• Laju jantung umumnya berkisar 110-140x/menit, tetapi jarang melebihi 160-170x/menit.
• Dapat ditemukan denyut dengan konduksi aberan (QRS lebar) setelah siklus interval R-R panjang-pendek (fenomena Ashman)
• Preeksitasi
• Hipertrofi ventrikel kiri
• Blok berkas cabang
• Tanda infark akut/lama Elektrokardiogram juga diperlukan untuk memonitor interval QT dan QRS dari pasien yang mendapatkan terapi antiaritmia untuk FA.
c.       Foto toraks
Pemeriksaan foto toraks biasanya normal, tetapi kadangkadang dapat ditemukan bukti gagal jantung atau tanda-tanda patologi parenkim atau vaskular paru (misalnya emboli paru, pneumonia).
d.      Uji latih atau uji berjalan enam-menit
Uji latih atau uji berjalan enam-menit dapat membantu menilai apakah strategi kendali laju sudah adekuat atau belum (target nadi <110x 1c="" 6-menit="" aktivitas="" antiaritmia="" berjalan="" dan="" dapat="" dicetuskan="" digunakan="" fa="" fisik.="" iskemia="" juga="" kelas="" latih="" memberikan="" menit="" menyingkirkan="" mereproduksi="" obat="" oleh="" sebelum="" setelah="" span="" uji="" untuk="" yang="">
e.       Ekokardiografi
Ekokardiografi transtorakal memiliki sensitivitas yang rendah dalam mendeteksi trombus di atrium kiri, dan ekokardiografi transesofageal adalah modalitas terpilih untuk tujuan ini. Ekokardiografi transtorakal (ETT) terutama bermanfaat untuk :
• Evaluasi penyakit jantung katup
• Evaluasi ukuran atrium, ventrikel dan dimensi dinding
• Estimasi fungsi ventrikel dan evaluasi trombus ventrikel
• Estimasi tekanan sistolik paru (hipertensi pulmonal)
• Evaluasi penyakit perikardial
Ekokardiografi transesofageal (ETE) terutama bermanfaat untuk :
• Trombus atrium kiri (terutama di AAK)
• Memandu kardioversi (bila terlihat trombus, kardioversi harus
ditunda)
f.         Computed tomography (CT) scan dan magnetic resonance imaging (MRI)
Pada pasien dengan hasil D-dimer positif, CT angiografi mungkin diperlukan untuk menyingkirkan emboli paru. Teknologi 3 dimensi seperti CT scan atau MRI seringkali berguna untuk mengevaluasi anatomi atrium bila direncanakan ablasi FA. Data pencitraan dapat diproses untuk menciptakan peta anatomis dari atrium kiri dan VP.
g.      Monitor Holter atau event recording
Monitor Holter dan event recording dapat berguna untuk menegakkan diagnosis FA paroksismal, dimana pada saat presentasi, FA tidak terekam pada EKG. Selain itu, alat ini juga dapat digunakan untuk mengevaluasi dosis obat dalam kendali laju atau kendali irama.
h.       Studi Elektrofisiologi
Studi elektrofisiologi dapat membantu mengidentifikasi mekanisme takikardia QRS lebar, aritmia predisposisi, atau penentuan situs ablasi kuratif.

PENATALAKSANAAN
1.      Kardioversi Farmakologis
Fibrilasi atrial paroksismal
-          Bila asimtomatik, tidak diberikan obat hanya edukasi
-          Bila menimbulkan keluhan yang mermerlukan pengobatan dan tanpa kelainan jantung atau disertai kelainan jantung minimal dapat diberi obat penyekat beta atau obat antiaritmia kelas IC seperti propafenon atau flekainid
-          Bila obat tersebut gagal dapat diberikan amiodaron
-          Amiodaron merupakan obat pilihan bila disertai kelainan jantung yang signifikan
Fibrilasi atrial persisten
-          Bila FA tidak kembali ke irama sinus secara spontan kurang dari 48 jam, perlu dilakukan kardioversi ke irama sinus dengan obat-obatan, setelah kardioversi diberikan obat antikoagulan selama 4 minggu. Obat antiaritmia yang dianjurkan kela IC (profenon dan flekainid)
-          Bila FA lebih dari 48 jam atau tidak diketahui lamanya maka pasien diberi obat antikoagulan kurang lebih 3 minggu sebelum dilakukan kardioversi farmakologis atau elektrik, selama periode tersebut dapat diberikan obat-obat digoksin, penyekat beta, dan antagonis kalsium untuk mengontrol laju ventrikel.
Fibrilasi atrial permanen
-          Kardioversi tidak efektif
-          Kontrol laju ventrikel dengan digoksin, penyekat beta, atau antagonis kalsium
-          Bila tidak berhasil pasien dirujuk untuk pertimbangkan ablasi nodus AV, atau pemasangan pacu jantung permanen
-          FA resisten, perlu pemberian antritromboemboli
2.      Kardioversi Elektrik
Pasien FA dengan hemodinamik tidak stabil, iskemia, hipotensi, sinkop, perlu segera dilakukan kardioversi elektrik dimulai dengan 100 joule.

PROGNOSIS
Tergantung penyebab, respon terapi

Alat Tempur Anastesi

             Inilah Beberapa alat-alat dan obat-obatan yang digunakan di bidang anastesi.  1. Cairan   Kristaloid Koloid ...